Selasa, 26 Oktober 2010

Friendshit!

            “Kembali lagi bersamaku, FJ Fauzan, with my BFF, VJ Saga, dalam acara MTV Ampuh!” ujar Fauzan sambil menatap sebuah kamera dihadapannya. “MTV?! Ampuh banget, deh!”
          “Lebih ampuh, tuh!” sahutku sambil mengacungkan kedua jempolku.
          Now, aku dan Fauzan menjadi VJ dalam sebuah acara tv yang selalu ditunggu-tunggu oleh para remaja. Sebelumnya, kami berdua iseng mengikuti audisi VJ Hunt 2010 yang diadakan oleh MTV. Akhirnya, kami berdua terpilih dan masuk final. Banyak orang yang mendukung kami, termasuk seorang perempuan yang telah menerimaku apa adanya hingga detik ini, Anita, sehingga kami berdua lolos dan terpilih sebagai pemenang VJ Hunt 2010. Dan, kebetulan sekali, kami berdua dikontrak dan dijadikan sebagai partner/pasangan VJ dalam acara MTV Ampuh. Padahal, sebelumnya, kami berdua tidak meminta untuk dijadikan sebagai partner/pasangan VJ dalam acara tersebut. Bahkan, Fauzan berharap kalau partner/pasangan VJ-nya adalah seorang perempuan cantik dan seksi. Ok, well, itulah arti dari teman. “Selalu bersama di manapun dan sulit untuk dipisahkan”.

* * *

          30 menit kemudian, pekerjaanku dengan Fauzan akhirnya kelar juga. Setelah mendapat pujian dari teman-teman yang juga berada di kantor MTV, kami berdua langsung menuju ke studio band yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Sesampainya di sana, di dalam studio II, ada Harry dan Reza. Mereka sudah menunggu kedatangan kami 10 menit yang lalu. Maaf telah menunggu lama, bro.
          “Renald mana?” tanya Fauzan pada Harry.
          Harry hanya mengangkat bahu dengan raut wajah cemberut.
          “What’s wrong?” tanyaku pada Harry sambil merangkulnya.
          Harry hanya menggeleng. Ia masih dengan raut wajah cemberut.
          “Renald meminta kami berdua datang ±10 menit sebelum latihan band dimulai.” kata Reza menjawab pertanyaan dari Fauzan tadi. “Lalu, ia datang membawa kabar buruk bagi kami berdua.”
          Ok. Lanjutkan lagi, Reza! Kau membuatku semakin penasaran. Saatnya memasang telinga baik-baik, nih!
          “Dia mengatakan bahwa ia akan mengikuti seni theater di sekolah kita hari ini. DIA MENGIKUTI EKSKUL SENI THEATER! Kau tahu itu, kan?!”
          “APA?!” panikku dengan Fauzan bersamaan. “SENI THEATER?!”
          Ok, ok. Sepertinya ada yang salah dengan Renald. Dia pernah mengkritik pedas tentang seni theater. Tapi ia mengatakan kritikan tersebut terhadapku. Sungguh aneh. Memang, sih, akhir-akhir ini Renald tampak aneh di hadapan kami. Ia seperti menyembunyikan sesuatu dari kami. Hal ini membuatku penasaran dan perasaan ingin tahu pun muncul. Cukup mudah untuk mengetahui itu semua, tanyakan saja pada kedua orangtua Renald karena mereka telah mengenalku lebih dekat dan bahkan, mereka menganggapku seperti anak kandung mereka sendiri. Well, that’s me! That’s my life! Aku hanya tinggal menunggu kapan tiba waktunya aku bertanya pada mereka.

* * *

          3 hari kemudian, pukul 8 malam, aku menuju ke rumah Renald. Sesampainya di sana, aku melihat banyak mobil yang parkir di depan rumah Renald. Apakah malam ini ada sebuah pesta di rumah Renald? Aku segera menekan tombol bel rumah Renald yang terletak di samping pintu masuk menuju ke rumah Renald.
          “Oh, my Saga!” ujar ibu Renald yang membukakakan pintu padaku. Ia langsung memelukku. “Masuklah. Renald berada di ruang tv.”
          “Sebenarnya, aku ingin bertemu dengan anda, Mrs. Renald.” ujarku.
          “Oh, maafkan saya, Saga. Saya hari ini sedang sibuk sekali. Kalau kau mau, kau bisa menunggu saya sampai saya selesai menyelesaikan semuanya. Saya tak akan lama kok. Kau bisa menunggu saya di ruang tv bersama Renald dan teman-temannya.”
          Renald dan teman-temannya? Apakah Fauzan, Reza, dan Harry juga berada di sini? Mengapa mereka bertiga tidak mengatakannya padaku?
          Aku masuk ke rumah Renald dituntun oleh ibu Renald—seperti  seorang ibu menuntun anaknya yang masih berumur ±3 tahun. Di ruang tv, banyak orang yang tampak tidak asing bagiku. Ternyata, mereka adalah teman-teman satu sekolahku, tetapi, dari kelas yang berbeda-beda. Dan, ternyata, mereka adalah… PECINTA SENI THEATER!
          “Hi, dorky!” sapa salah satu dari mereka padaku.
          “Dia tampak seperti buah apel!” ejek salah satu dari mereka padaku.
          Semua orang yang berada di ruang tv langsung menertawakanku. Dorky? Am I? Buah apel? Am I? Sepertinya mereka semua memiliki sebuah penglihatan yang tidak biasa seperti orang normal. Mereka memiliki sebuah penglihatan seperti hewan monyet! Well, kalau begitu, alangkah indahnya apabila aku takkan mendengar sapaan  konyol dari mereka itu.
          “Saga?!” kaget Renald yang tiba-tiba nongol di belakangku sambil membawa sekaleng Coca Cola.
          Aku langsung menoleh ke arah Renald. “We need to talk. Face to face.”
          Renald mengajakku berbicara di lemari pakaiannya yang sangat besar—seperti lemari pakaian milik Hannah Montana.
          “What’s wrong?” tanya Renald padaku.
          “Kau tampak aneh di akhir pekan ini, sob.” Jawabku. “Kau seperti menyembunyikan sesuatu dari teman sejak kecilmu ini.”
          Renald hanya terdiam dan menatapku dengan tatapan kosong.
          “Ok.” kataku. “Terserah kamu mau bilang atau tidak. Aku pulang ya. See you tomorrow!”
          Renald langsung menghentikan langkahku. “Ok, fine! Aku memang menyembunyikan sesuatu darimu, Fauzan, Harry, dan Reza atau disingkat menjadi 26 Floors. Entah kenapa, tiba-tiba aku mengetahui bakatku yang sebenarnya. Aku tidak hanya mampu bermain drum, tetapi juga mampu berakting…”
          “Jadi,” selaku. “Menyembunyikan sesuatu dariku adalah suatu latihan untuk seni theater yang kamu ikuti itu?”
          “NO! Aku hanya… aku hanya ingin… aku hanya ingin bang kita takkan bubar hanya karena aku jatuh cinta dengan seni theater sekarang.”
          “Chill, dude. Aku dan yang lainnya takkan melakukan hal bodoh itu. Kita pasti akan mendukungmu untuk…”
          Ada seseorang yang mengetuk pintu lemari pakaian milik Renald. Renald segera membukakan pintu lemari pakaian miliknya.
          “So,” ujar perempuan itu padaku. “Kaukah yang bernama Saga?”
          Dia langsung masuk ke lemari pakaian milik Renald dan berjalan ke arahku. “Suatu hal yang sangat mulia bertemu denganmu, Saga.”
          Eh! Ni cewek kok malah bersujud di hadapanku, sih? Maksudnya apa, nih?
          “Aku benar-benar menghormati kehadiranmu di sini.” jelas perempuan itu dan kembali berdiri.
          Renald langsung nyengir. Ia langsung membisikkan sesuatu pada perempuan itu. Perempuan itu langsung mengangguk. Yang jelas, aku tidak tahu apa yang dibisikkan oleh Renald pada perempuan sok cantik itu. Tak berapa lama, Renald dan perempuan itu kembali menatapku.
          “Namaku Michelle.” kata perempuan itu memperkenalkan dirinya. “Kau bisa memanggilku Mitchie.”
          “Who are you?” tanyaku curiga pada Mitchie. “Renald’s girlfriend?”
          “Tentu saja.” jawab Mitchie dengan cepat.
          Renald membelalakkan matanya. Mitchie langsung merangkul Renald. “Kami memang jodoh dan pantas ditakdirkan untuk bersama.”
          Hmm… Sepertinya ada yang salah di sini. I know it.
          “Dan, aku adalah kapten seni theater.” lanjut Mitchie. “Renald telah bergabung bersamaku.”
          HEI! INI SEPERTI KALIMAT “PENYOMBONGAN DIRI”! Tumben banget apabila Renald mencintai dan memacari seorang perempuan yang terkenal sombong dan egois. Atau... jangan-jangan... Renald dan Mitchie hanya berpura-pura berpacaran?!
          “Aku sudah tahu tentang itu kok.”
          “Ok. Kau tidak bisa mengambil Renald seenaknya dari diriku. Apalagi untuk band tololmu itu.”
          APA?! Jadi, Mitchie mengajakku untuk berkelahi, toh?! DASAR, MITCHIE! “Maksud kamu apa? Renald, what’s going on?”
          Renald hanya diam saja seperti sebuah patung. Sedangkan Mitchie, ia hanya tersenyum. Oh, NOOOOOOOOOO! ITU SENYUM KEMENANGAN!
          “26 Floors akan menjadi band terburuk yang pernah ada di bumi ini.” ejek Mitchie.
          Aku hanya menghela nafas. Kalimat ini benar-benar sudah biasa bagiku. Aku ingat bahwa ada pepatah yang mengatakan bahwa seorang laki-laki harus menghargai seorang perempuan. Dari kalimat tersebut, aku berpikir bahwa ada salahnya dan ada benarnya. Daripada masalah ini semakin panjang dan rumit seperti taman sesat, aku bergegas keluar dari lemari pakaian milik Renald tanpa pamit pada Renald dan Mitchie terlebih dahulu. Di luar, ternyata, hujan pun turun dan sangat deras. Tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari menuju ke rumah Anit yang letaknya agak jauh dari rumah Renald. Aku sengaja meninggalkan mobilku di depan rumah Renald semalaman. Ia pasti tahu itu.

* * *

          Keesokan paginya, di suatu tempat di mana aku mendapatkan ilmu dan masalah terhadap teman, guru, atau penjaga kantin—yakni di SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta.
          Aku berjalan masuk ke kelas dengan tertunduk. Tak disadari, aku menabrak seorang laki-laki.
          “SSSSSAAAAAGAAAAA!” sapa laki-laki itu padaku. Ternyata dia adalah Harry. “What’s going on?”
          Aku hanya mengangkat bahu.
          Harry langsung merebut skateboard yang kubawa. “Kau berangkat ke sekolah dengan naik skateboard?! Tumben banget, Saga. Oh ya, tanggal 25 April band kita, 26 Floors, akan mengikuti lomba band antar SMA se-Jakarta, lho. Kau ingat itu, kan?!”
          “Ya… ya… ya… memang.”
          “Apakah kau yakin kalau kita akan mengikuti lomba tersebut tanpa Renald?”
          “Stop! Jangan sebut nama itu lagi!”
          “Ada apa, sih, Saga?”
          “Aaaaah… Lupakan, deh! Intinya adalah, 26 Floors akan mengikuti lomba tersebut dengan seorang drummer baru atau tidak ikut lomba tersebut!”
          Harry menggarukkan kepalanya. Ia langsung kembali masuk ke kelas dan meninggalkanku sendirian di depan ruang kelas.
          Beberapa jam kemudian, waktu telah menunjukkan pukul 2 siang. Begitu cepat karena sekolah ini sudah terlihat sangat sepi. Aku dan Fauzan memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi kawasan sekolah terlebih dahulu. Tak berapa lama, langkah kami terhenti di depan mading sekolah. Aku melihat Renald sedang membaca suatu pengumuman yang tertempel di mading sekolah.
          “Kau lihat ini?” tanya Fauzan padaku sambil menunjuk ke arah suatu pengumuman yang tertempel di mading sekolah. “Seni theater akan dipentaskan di aula sekolah pada tanggal 25 April! Bukankah itu hari di mana 26 Floors mengikuti lomba ya? Dasar seni theater yang payah!”
          Aku hanya tersenyum kecil. Tiba-tiba, Renald langsung mendorong Fauzan sampai jatuh ke lantai.
          “Kalau kamu mau berkelahi denganku,” ujar Renald. “Silahkan! Aku benar-benar siap!”
          Aku meraih tangan kanan Fauzan dan membantunya untuk berdiri.
          “Chill, Renald! I’m just kidding! Aku minta maaf, deh!”
          “Aku memang tahu bahwa pada tanggal 25 April, seharusnya aku mengikuti lomba band antar SMA se-Jakarta bersama kalian. Namun, penampilanku untuk pentas seni theater jauh lebih penting daripada harus mengikuti lomba band tersebut bersama anak-anak brengsek seperti kalian!”
          RENALD! Setan apakah yang merasukimu sekarang? “Renald, terima kasih atas ejekanmu itu padaku dan Fauzan. Aku benar-benar menghargainya kok. Apa yang selalu kita lewati bersama, aku akan tetap mengenangnya meski kamu telah membenciku selamanya.”
          “Wait!” bentak Fauzan padaku. “Biar aku saja yang memberikan pelajaran untuk si cebol Renald, Saga!”
          Tanpa basa-basi, Fauzan langsung memukul pipi kanan Renald sampai membiru. Renald tak mau menerimanya. Akhirnya, Fauzan dan Renald mulai saling memukul satu sama lain. Aku sudah mencoba untuk menghentikan mereka. Namun, aku malah terkena pukulan salah satu dari mereka. Tak berapa lama, Harry, Reza, dan pak satpam datang menghampiri kami bertiga. Mereka juga membantuku untuk menghentikan Fauzan dan Renald. Tiba-tiba, aku melihat Fauzan membawa sebuah silet! Dengan cepat, aku langsung mengambilnya. Tetapi, aku terlambat untuk…
          “Ugh! Fa… Fauz… Fauzan!”
          GUBRAAAAAK! Laki-laki yang mengenai silet yang dibawa oleh Fauzan itu tergeletak di lantai. Ia tak kuat menahan perihnya silet yang menancap di lengan kanannya itu. Darah mengucur banyak hingga mengenai seragam sekolahnya. Aku hanya terkejut sambil berkata, “Astaga! Mengapa kau tega melakukan ini, Fauzan!”
          “A… a… a… aku tidak bermaksud seperti ini, Saga!” jawab Fauzan dengan tampang terkejut dan bingung. “Tanganku tak sengaja meleset dan mengenai Harry!”
          “Cepat telepon ambulance!” suruh Reza pada semua orang yang berada di lorong kelas.
          Renald hanya terdiam dan menatap Harry yang jatuh pingsan di lantai. Ia tidak berkutik sama sekali. Apakah kau akan berulah lagi, Renald? Kalau iya, kau akan berulah dengan siapa lagi? Aku?
          Reza, Fauzan, dan pak satpam sibuk mencari bantuan untuk menolong Harry, sedangkan aku datang menghampiri Renald dan langsung mendorongnya pelan.
          “Apa lagi sekarang, Saga?” tanya Renald dengan nada sebal sambil mendorongku dengan keras.
          “Dengar ya,” kataku mengingatkan. “Emang kamu mau, kalau tali persahabatan kita terputus hanya karena dirimu? Apakah yang kulakukan semuanya hanya demi menjaga tali persahabatan kita ini ternyata  sia-sia? Sekarang, kamu mau menyakiti siapa lagi? Kamu belum puas untuk menyakiti hatiku dan teman-temanmu? Jadi cowok itu yang bener, dong! Jaga sikap kenapa, sih?!”
          Tanpa berpikir panjang, Renald langsung mendorongku sampai aku jatuh ke lantai. Dengan perasaan kesal, ia menendang perutku hingga kepalaku mengenai kaki mading sekolah. Ia menendang perutku hingga lebih dari 5 kali. Sekarang, aku mulai memuntahkan banyak darah dari mulutku. Bahkan, Renald berhasil membuat kacamataku pecah.
          “I don’t want to know you anymore, jerk!” kesal Renald padaku.
          Mungkin ucapanku tadi memang ampuh untuk membuat seseorang kesal. Namun, ucapanku tadi tidak sesakit “perut yang ditendang Renald”, bukan?! Kepalaku mulai terasa pusing dan aku mulai kesulitan untuk melihat segalanya. Tapi, aku sempat melihat kedua kaki Renald melangkah pergi keluar dari kawasan SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta. But… wait… di mana yang lainnya?

* * *

          Tepat pukul 10 malam, aku duduk terdiam di depan pintu rumah Anita. Aku masih menggunakan seragam sekolah sambil menyandangkan tas ransel di bahuku. Tak berapa lama, Anita datang menghampiri dan duduk disampingku. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku.
          “Aku sudah tahu tentang kejadian yang menimpamu hari ini kok.” ujarnya. “Sabar aja ya.”
          Entah mengapa, aku langsung meneteskan air mata. Bukannya aku cengeng, tetapi tiba-tiba aku teringat ketika aku, Fauzan, dan Renald kali pertamanya bertemu di sebuah kelompok bermain. Bayangkan saja, kami bertiga sudah ±14 tahun bersahabat. Apakah hanya karena suatu masalah kecil, kami bertiga memutuskan untuk saling menyakiti dan membunuh satu sama lain?
          Anita langsung memelukku dan menepuk punggungku. “Sabar ya, Saga. Ini semua pasti ada jalan keluarnya kok. Aku yakin kalau kamu mau bersabar dan tabah untuk melewati ini semua, kamu pasti akan menemukan jalan keluarnya, ok?!”
          “Zzzzz…”
          “Saga, bangun! Saga! Saga! Are you okay?”
          Dengan pelan, aku mencoba untuk membuka kedua mataku. Ternyata, pertemuan antara aku dan Anita hanyalah mimpi. Aku merasakan bantal dan tempat tidur yang kurang empuk sekarang. Dan, orang yang berhadapan denganku bukan Anita, melainkan Reza dan Harry. Reza dan Harry tersenyum melihatku yang akhirnya terbangun juga.
          Aku mulai mengusapkan wajahku dengan tangan kananku. “Di mana aku sekarang? Dan, di mana Renald dan Fauzan? Dan, apakah kau tak apa, Harry?”
          Harry nyengir mendengar pertanyaanku tadi. Emang ada yang lucu ya, Harry? “Satu, kamu ada di rumah sakit sekarang. Dua, Fauzan pulang ke rumahnya, sedangkan Renald... aku tidak tahu. Dan, tiga, I’m fine, Saga. Thanks for asking me.”
          Aku balik nyengir pada Harry. Ia benar-benar terlalu baik dan lugu sehingga banyak orang yang selalu mengusilinya. Namun, percuma saja. Ia adalah seorang laki-laki yang tidak mudah naik darah. Sehingga, ia berhasil membuat orang yang mengusilinya yang malah merasa sebal. LOL.
          “Saga,” panggil Reza. “Apa kau yakin bahwa 26 Floors hanya beranggotakan 3 orang?”
          Aku langsung membelalakkan mataku. 3 orang?! Siapa yang memutuskan untuk keluar dari band 26 Floors selain Renald? Aku? Tentu saja... bukan.
          “I’m sorry, Saga.” sesal Reza sambil menunjukkan selembar kertas padaku.
          Selembar kertas tersebut berisikan tentang surat keluarnya seorang siswa SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta. Bukannya ia yang memutuskan untuk keluar, melainkan sekolah sendiri yang memutuskan. Dan, surat ini melainkan bukan milik Reza! Ternyata, surat ini milik...
          “Saga?” tanya Reza padaku.
          Tidak! Ini benar-benar tidak mungkin! Tiba-tiba, muncul sebuah ide gila dalam pikiranku. Aku langsung melepas infus yang menusuk di tangan kiriku. Tidak peduli sakit atau tidak, aku langsung bangkit dari tempat tidur. Reza dan Harry terkejut melihat apa yang kulakukan sekarang.
          “What are you doing?” tanya Reza padaku.
          “Reza,” panggilku. “Apakah kau membawa baju ganti?”
          “Sure. Ada di tas ranselku!”
          “Harry,” panggilku. “Apakah kau membawa jaket dan topi?”
          “Yup. Juga ada di tas ransel milik Reza!”
          “Ada yang bawa sandal jepit?”
          “Aku!” jawab Harry sambil mengacungkan jari telunjuknya.
          “Aku pinjam semuanya ya, friends!”
          “Kamu mau ke mana, sih, Saga?” tanya Reza penasaran. “Bukankah sekarang sudah larut malam?! Mengapa kau pakai topi?”
          “Penyamaran yang bagus, bukan?!” jawabku. “Oh ya, by the way, kalian berdua ke sini dengan naik apa?”
          “Mobilnya Harry!” jawab Reza sambil menunjuk Harry.
          “Apakah kau tidak keberatan apabila aku meminjam mobilmu, Harry?”
          “Tidak kok. Ini kunci mobilnya. Tunggu, Saga! Kau mau ke mana?”
          “Reza dan Harry, aku mau ke suatu tempat di mana aku harus menyelesaikan masalah pribadiku ini. Kalian berdua tetap di sini ya. Jangan sampai suster atau dokter mengetahui bahwa ada satu orang pasien yang berhasil kabur, ok?!”
          “Siap, bos!” kata Reza dan Harry bersamaan. “Good luck, Saga!”
          Aku langsung keluar dari kamar rumah sakit yang aku tempati sekarang. Meski aku sempat bertemu dengan seorang suster, namun suster itu tidak mengetahui bahwa aku sebenarnya seorang pasien di rumah sakit ini! Saga, kau pintar! Penyamaranmu benar-benar berhasil!

* * *

          Sesampainya di tempat tujuan, aku segera keluar dari mobil dan menekan tombol bel rumah tersebut. Tak berapa lama, orang yang memiliki rumah tersebut akhirnya keluar juga. Ia benar-benar terkejut ketika melihatku.
          “Hai, Fauzan!” sapaku padanya.
          “Saga?!” kaget Fauzan. “Bukankah kamu masuk rumah sakit ya? Bagaimana bisa kau keluar dari rumah sakit? Dan, apakah kamu benar-benar sudah sembuh?”
          “Hmm... Belum terlalu sembuh!” jawabku sambil menunjukkan balutan perban yang terdapat di perutku. “Aku ingin menanyakan beberapa hal padamu, Fauzan.”
          Fauzan hanya menghela nafas. Satu hal yang tidak kusukai darinya, ia benar-benar sulit untuk diajak bicara “serius”.
          Aku langsung menunjukkan selembar kertas tentang keluarnya Fauzan dari SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta. “Maksud dari selembaran kertas ini apa?”
          Fauzan langsung merebut selembaran kertas itu dari tanganku. “Mereka tidak mau menampung masalah yang panjang antara aku, kamu, Harry, Renald, dan Reza. You must to know that!”
          “Mengapa bukan Renald saja yang dikeluarkan dari sekolah? Lagian, bukankah Renald yang membuat masalah itu muncul ya?”
          “Sebenarnya, sih. Tapi, yah... mau bagaimana lagi?! Keputusan tetaplah keputusan.”
          “Dasar plin-plan.”
          “But... hey! 26 Floors masih bisa tenar tanpa diriku, bukan?! Aku tidak peduli apakah 26 Floors akan menang atau kalah dalam lomba band antar SMA se-Jakarta itu. Yang penting, aku pernah menjadi sebagian dari 26 Floors dan tetap mendukungnya.”
          “Thanks, bro!” aku langsung memeluk Fauzan erat-erat.
          “Jaga dirimu ya, Saga!”
          “You, too!”
          Fauzan langsung melepas pelukan kami. Ia langsung memasang tulisan “DIJUAL” di jendela rumahnya. Setelah itu, ia langsung menatapku. “Sampai jumpa, Saga! Aku akan merindukanmu! Dan, terimakasih sebesar-besarnya karena kamu mau menjadi sahabatku hingga detik ini. Kau adalah sahabatku yang paling baik dan terlama yang pernah kumiliki. Kurasa kita harus mengakhiri ini semua dengan cara berhenti sampai di sini saja.”
          “Maksudmu?”
          Fauzan langsung menutup pintu rumahnya dengan cepat. Aku panik dengan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Fauzan tadi. Aku langsung menekan tombol bel rumah Fauzan lagi. Namun, tidak ada yang membukakakan satu orang pun. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke rumah sakit. Well, hari ini benar-benar hari sialku dengan anggota band 26 Floors lainnya. Aku dan anggota band 26 Floors lainnya benar-benar diuji akan kesabaran kami oleh Tuhan. Tapi, ternyata, separuh dari kami lebih memilih untuk mundur karena putus asa. Satu hal yang perlu kuketahui bahwa setiap manusia juga pernah diuji oleh Tuhan. Apabila kau lebih memilih untuk mundur dari tes yang diberikan oleh Tuhan ini, maka kau akan kehilangan segalanya yang menurutmu itu “harta yang istimewa”.
          Hari demi hari telah kujalani dan kulewati. Tak terasa bila bulan ini adalah bulan Mei. 26 Floors akhirnya memenangkan lomba band antar SMA se-Jakarta. Band yang hanya beranggotakan 3 orang tersebut, yaitu aku, Reza, dan Harry—berhasil meraih juara II dengan hadiah trophy+beasiswa 6 bulan+uang tunai sebesar Rp 8 juta tanpa dipotong pajak. Band yang terdiri dari guitarist dan vokalist, synthesizer, dan bassist ini juga berhasil meraih juara band favorit. Aku tidak peduli apakah aku sekarang tenar atau tidak, yang kupikirkan sekarang adalah mau kuapakan uang sebesar Rp 8 juta tersebut. Akhirnya, kami bertiga memutuskan untuk dibagi rata antara satu dengan yang lain. Masing-masing anggota membawa uang tunai sebesar Rp 2 juta. Sedangkan sisanya, kami bertiga sepakat untuk memberikannya kepada panti asuhan.
          Well, untuk masalah yang lain, masalah yang berkaitan dengan aku, Renald, Fauzan, Reza, dan Harry—sepertinya sampai sekarang pun belum juga kelar. Semenjak kejadian tersebut, aku dan Fauzan sudah tidak lagi berkomunikasi, atau lebih mudah disebut missed communication. Renald pun juga begitu. Sekarang, ia menjadi seorang aktor papan atas untuk  seni theater. Dan, ia terkenal sebagai seorang aktor yang sombong di SMA-ku. Dari kejadian yang kualami ini, ada sesuatu yang harus aku mengerti bahwa ternyata sahabat yang paling baik itu juga bisa pergi meninggalkanku dengan cepat dan belum tentu selamanya dia baik padaku. Dan, orang yang tidak terlalu dekat denganku, seperti Reza dan Harry, belum tentu mereka mau meninggalkanku dengan cepat dan memiliki sifat yang jahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar