Jumat, 29 Oktober 2010

Fauzan, Is That You?

       Bangun pagi adalah suatu hal yang sangat menyenangkan bagiku. Aku berlari menuju ke kalender yang terletak disamping meja belajarku. Tak terasa bahwa hari ini adalah tanggal 13 Mei 2010. Saking senangnya untuk menjalani kegiatan hari ini, aku terpeleset karena menginjak skateboard-ku. Bukannya merasa kesakitan, aku malah tertawa gembira.
          Pukul setengah 8 pagi, di SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta. Murid-murid kelas II IPA sudah menunggu di bandara Soekarno-Hatta. Aku melihat bahwa tak satupun dari mereka yang tidak membawa tas ransel atau bahkan koper. Asalkan kau tahu, hari ini adalah dimana seluruh murid kelas II IPA SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta akan berekreasi di Surabaya selama 5 hari. Tapi, sampai detik ini, aku masih belum tahu di mana kami akan menginap. Aku berharap apabila kami tidak menginap di rumah nenekku.
Akhirnya, pemberangkatan molor sampai pukul setengah 9 pagi. Selama perjalanan, di pesawat, aku duduk dengan Harry. Kami berdua bercanda tentang segala hal. Bahkan, kami tidak peduli apabila ada seseorang yang tertidur hingga banyak orang yang sempat protes. Sorry!
          1 jam kemudian, kami telah sampai di Surabaya. Aku bengong ketika melihat sebuah toko bernama Rotiboy dihadapanku. Andai saja aku dapat membelinya. Namun sayang, kami semua harus cepat-cepat menuju ke hotel.
          Sesampainya di hotel, setelah pembagian kunci kamar. Kami semua menginap di hotel berbintang lima, yaitu hotel Shangri-La Surabaya. Aku sekamar dengan Harry dan Reza. Maklum saja apabila kamarku hanya berisi 3 orang karena kami bertiga kebetulan menempati kamar hotel yang kecil, atau disebut juga suite room.
          “Tempat tidurnya sangat empuk, Saga.” ujar Harry sambil berbaring diatas tempat tidurnya. Ia langsung melepas baju dan celana jeans-nya. Tak peduli di mana ia menaruh baju dan celana jeans-nya, ia langsung tidur nyenyak.
          Sedangkan Reza, ia sedang asyik memeriksa kamar hotel yang kami tempati ini. Ia memeriksanya secara detail.
          “Tenang aja lah, Reza.”ucapku pada Reza. “Di dalam kamar hotel ini tidak ada benda-benda tajam kok! Tapi, ada pencurinya!”
          Reza langsung membelalakkan matanya dan menatapku serius.
          “Ini pencurinya.” ucapku lagi sambil menunjuk Harry yang sedang tidur.
          Reza menggerutu kesal. Ia kembali melakukan hal yang sama. Sedangkan aku langsung membawa tas laptopku dan pergi ke lobby hotel. Di sana, ada Pak Saddam yang sedang mengobrol dengan salah satu pegawai hotel ini. Aku langsung datang menghampiri mereka.
          “Hai, ayah!” sapaku pada Pak Saddam alias ayah kandungku. “Whatzup?”
          “Begini, Saga, apakah kau tidak keberatan untuk menolongku?”
          Aku menggeleng.
          “Ok. Terima kasih, nak. Jadi, begini, aku minta bantuanmu untuk memanggil 4 kapten atau wakil kapten dari masing-masing ekstrakurikuler. Pastinya mereka yang mengikuti acara rekreasi ini. Kau paham maksudku, kan?!”
          “Sepertinya.” kataku sambil menggarukkan kepala. Sebenarnya, aku tak paham dengan apa yang dimaksud oleh Pak Saddam.
          “Ok. Suruh mereka untuk menemuiku di sini. Cepatlah!”
          Aku menggangguk dan segera melaksanakan perintah dari Pak Saddam tadi.
          Setelah memanggil 4 kapten atau wakil kapten dari masing-masing ekstrakuriler, yakni Reza, kapten ekstrakuriler basket; Renald, wakil kapten ekstrakurikuler seni teater; Cynthia, kapten ekstrakurikuler cheerleaders, dan Fitri, wakil kapten ekstrakurikuler pencak silat—aku pun juga berjalan menuju ke lobby hotel.
          “Jadi, begini” jelas Pak Saddam. “Saya memanggil kalian semua untuk mengikuti saya menuju ke SMA Bintang Kejora 3 Surabaya. Di sana, kalian akan mewakili setiap ekstrakurikuler yang ada di SMA kita. Dan, kalian juga harus menjaga nama baik SMA kita, ok?!”
          “SMA Bintang Kejora?!” tanya Reza padaku. “Seharusnya ada SMA Bintang Virgo!”
          “Mendingan SMA Bintang Leo!” candaku. “Jika kau menjadi anak bandel di sekolah tersebut, maka kau akan dimakan oleh singa bernama Leo! Ham! Nyam-nyam!”
          Reza mendorongku dan tertawa.
          “Dan, untuk Saga” kata Pak Saddam. “Kau harus ikut bersama kami. Ajak Harry juga, ok?!”
          Aku mengangguk. Sebenarnya, acara apa yang akan hadiri itu? Makan bersama? Atau pameran WC? Ada yang tahu tidak?
          Sesampainya di tempat tujuan, aku terkejut melihat bentuk gedung sekolah itu. Gedung sekolah tersebut berbentuk pohon natal yang diatasnya terdapat sebuah tiang berbentuk bintang kejora! Sekolah apaan, nih? Tiba-tiba, aku merasakan ada seorang perempuan berbisik padaku. Ia menyuruhku untuk menemuinya di dalam ruang aula SMA Bintang Kejora 3 Surabaya. Aku langsung berjalan menuju ke sana sendirian tanpa ada yang menemaniku.
          Di sana, aula itu tampak sepi. Tetapi, diatas panggung, single spotlight menyorot sebuah kursi yang terletak diatas panggung. Aku menoleh ke kanan—lalu ke kiri, meyakinkan diriku bahwa tak ada sesuatu yang harus ditakuti di sini. Ketika aku kembali menatap sebuah kursi yang disorot oleh single spotlight, tiba-tiba, aku melihat ada seorang laki-laki yang duduk di kursi tersebut! Kulitnya pucat seperti orang mati. Bola matanya berwarna merah dan hitam. Badannya penuh dengan darah. Wajahnya pun sudah tidak tampan lagi. Dan, terdapat sebuah pisau yang menancap di perut dan dadanya. Bahkan, ia selalu meneteskan darah setiap detik dari matanya!
          Mulutku ternganga dan aku segera keluar dari aula ini. Namun... oh, tidak... PINTU AULA INI TERKUNCI DARI LUAR! Aku langsung menggubrak pintu aula sekeras mungkin. Tapi, tetap saja pintu itu tidak terbuka. OMG! SESEORANG! KUMOHON TOLONG AKU!
          Seorang laki-laki yang duduk di kursi itu langsung datang menghampiriku. Ia memohon padaku untuk bersikap tenang sebentar.
          “Hai, Saga!” sapanya.
          “B... b... bagai... bagaimana... kau... bagaimana kau bisa tahu namaku?” tanyaku dengan perasaan yang belum tenang. “Maksudku, itu bukan... bukan namaku! A... ak... aku... aku bukan S... Aku bukan Sag... Aku bukan Saga!”
          “Jangan boong, deh! Kamu nih memang ada-ada aja!”
          Eh, hantu ini kok bisa humor ya? Apaan, deh! Perasaanku masih juga belum tenang. Aku masih berusaha untuk segera keluar dari aula ini.
          “Chill, dude! I’m your ex. BFF!”
          Aku makin panik mendengar ucapan hantu tersebut. ‘ I’m your ex. BFF ‘ ? Who are you? Aku berhenti menggubrak pintu dan segera menoleh ke hantu tersebut dengan pelan. Aku takut memandangnya. Coba bayangkan, deh! Seakan-akan mau jatuh pingsan dan tak akan bangun lagi, nih!
          “Saga,” panggilnya. Ia langsung memelukku. Air mata darahnya mulai membasahi bajuku. Aku membalas pelukan darinya.
          “Ini aku. Aku Fauzan!”
          Aku langsung membelalakkan mataku. Fauzan?! Kamu kok di Surabaya?! Dan, mengapa kau berdandan seperti hantu belagu begini, toh?!
          “Ketika aku pindah ke Surabaya dan hari pertamaku bersekolah di sini, believe it or not, aku mati di sini. Dan, sekarang, aku tidak bisa hidup tenang di sini. Matilah bersamaku! Come on!”
          Fauzan...
          “Saga! Please! Don’t leave me alone!”
          Aku langsung melepas pelukannya. “Kau ingat ketika caramu meninggalkan aku? Kau ingat 26 Floors, kan?! 26 Floors memang bisa maju tanpamu, tapi, caramu meninggalkan aku, Harry, dan Reza itu yang tidak bisa aku maafkan sampai sekarang!”
          “Well, daripada hal itu masih membekas di hati kamu, mendingan kamu mati dan menemaniku di sini. Aku akan menjelaskan semuanya kok!”
          “Enggak!”
          “Oh! Jadi, kamu menentang sahabatmu sendiri?! Ok! Kalau begitu, rasakan kutukannya! Aku pun juga tidak akan memaafkanmu!”
          Tiba-tiba, dari arah samping kanan dan kiri muncul banyak benda tajam. Benda tajam itu terbang dan mengarah ke padaku! Dan...
          “SHIT!”
          “Eh, Saga! Bangun-bangun kok sudah ngomong kotor?! Tidak sopan, ah!”
          “Eh, Harry! Aku tidak mati, kan?!”
          Harry memandangku dengan tatapan heran. Ia memang tidak tahu apa yang kumaksud sekarang.
          Rupanya, tadi hanyalah mimpi. Aku dan yang lainnya masih berada di dalam mobil—perjalanan menuju ke SMA Bintang Kejora 3 Surabaya. Syukurlah, aku terbangun tepat pada waktunya. Itu adalah kali pertamanya aku bermimpi tentang “hantu datang menghampiriku”. LOL.
          “Sudah sampai!” ujar Pak Saddam.
          Kami semua langsung keluar dari dalam mobil. Aku menghembuskan nafas lega karena gedung sekolah ini tidak sama seperti yang ada dalam mimpiku. Gedung sekolah ini bentuknya normal kok. LOL. Pak Saddam menyuruh kami masuk ke gedung aula. Aku langsung teringat dengan apa yang terjadi dalam mimpiku. Perasaan takutku itu sampai di dunia nyata tetap saja tidak akan hilang. Aku langsung menggandenga tangan Reza. Tapi... tunggu... masak tangannya Reza selembut ini ya? Jangan-jangan... aku salah menggandeng tangan orang, nih! Mampus nih!
          “Saga?!” kejut Reza yang ternyata berada di belakangku. “Tumben banget kamu...”
          Tuh, kan?! Aku beneran salah menggandeng tangan orang! Terus, ini tangan siapa? Jiah...
          “Oy!” bentak orang yang aku gandeng itu. Ia langsung menyingkirkan tanganku dari tangannya.
          Maaf, deh, Renald...
          Kami semua dipersilahkan duduk di kursi barisan paling depan oleh sahabat lama Pak Saddam, namanya Pak Johnson. Dia adalah sahabat ayahku ketika masih duduk di bangku SMA. Sekarang, dia menjadi guru Bahasa Inggris SMA Bintang Kejora 3 Surabaya. Karenanya, SMA Bintang Kejora 3 Surabaya semakin maju dalam mata pelajaran Bahasa Inggris. Sekolah ini sering mengikuti olimpiade Bahasa Inggris dan membawa pulang tanpa tangan kosong. Salut banget, deh!
          Tak kuduga bahwa aku duduk diantara Renald dan Harry. Sedangkan Reza, ia duduk disamping Harry. Terdapat kursi kosong disamping Renald. Sekitar 2 menit kemudian, Pak Saddam datang menghampiri kami.
          “Saga!” panggilnya. “Cepat ikut saya!”
          Aku langsung berdiri dan merapikan bajuku.
          “Bagaimana denganku?” tanya Renald pada Pak Saddam. Dia selalu ikut campur suatu hal. Itulah hal yang tidak kusukai... sangat.
          “Ya, kau juga!” jawab Pak Saddam. “Kau juga, Reza dan Harry!”
          “Me?!” panik Harry.
          Reza memukul dahinya. Ia paling sebal ketika Harry mulai panik seperti itu. “Chill, dude! Kau tidak akan bertemu dengan hantu disana kok!”
          “Oh, good!” ucap Harry tenang.
          “Cepatlah sedikit, nak!” suruh Pak Saddam.
          Kami berjalan menuju ke backstage. Tampak beberapa panitia penyelenggara acara ini.
          “Kalian berempat akan menjadi guest-star di acara ini.” jelas Pak Saddam. “Ini adalah surprise yang sangat... sangat... menakjubkan untuk kalian.”
          Aku, Renald, Reza, dan Harry mulai penasaran dengan surprise yang akan diberikan oleh Pak Saddam pada kami.
          “Saya membutuhkan 26 Floors sebagai bintang tamu di acara ini.”
          “WHAT?!” kejutku, Renald, Reza, dan Harry bersamaan.
          “Lupakan masalah yang membuat kalian terpecah belah waktu itu. Kalian adalah satu-satunya harapan saya dan SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta. Apakah kalian mau menyia-nyiakan kesempatan ini?”
          “Mau!” jawab Harry.
          “Kamu mau menyia-nyiakan kesempatan ini, Har?” tanyaku.
          “Maksudku, aku mau tampil dengan 26 Floors sekarang. I’m ready!”
          “Hurray.” kesal Renald.
          Aku langsung membuka tas ranselku dan mengeluarkan sebuah barang. Aku memberikan barang tersebut pada Renald. Semoga ini ampuh untuk mengubah Renald sekarang. “Kau bisa melakukannya—untuk saat ini saja.”
          Renald menatapku. Wajah kesalnya langsung berubah seketika. Ia langsung menerima stick drum yang kuberikan padanya. “Baiklah. Aku takkan menyia-nyiakan kesempatan ini. Lagipula, aku sudah lama sekali tidak memainkan sebuah alat musik bernama drum.”
          Reza terharu. Ia langsung memeluk Renald. Harry juga ikut memeluk Renald. Begitu juga denganku.
          “Yow, Pak Saddam!” panggil Renald.
          DASAR ANAK YANG TIDAK SOPAN DENGAN AYAHKU!
          “Bagaimana dengan alat musiknya?”
          “Sudah kusediakan, loser!”
          Aku, Reza, dan Harry tertawa mendengar jawaban Pak Saddam tadi. Tenanglah, Renald. Ia hanya bercanda kok.
          Tampak seorang laki-laki datang menghampiri kami berlima. Ia adalah salah satu dari panitia penyelenggara acara ini. Ia sedang sibuk membaca urutan acara dan menjelaskan pada kami berlima. Ketika ia selesai, ia langsung menatap kami dengan wajah terkejut. Begitu pula dengan kami—kecuali Pak Saddam.
          “KALIAN?!”
          “FAUZAN?!”
          “Pak Saddam! J”
          “Sedang apa kalian berada di backstage? Ingatkah ketika terakhir kita bertemu? Apakah itu belum cukup?”
          “Kita akan tampil demi 26 Floors dan sekolah. Oh, aku sangat ingat ketika terakhir kita bertemu. Sungguh tragedi. Sepertinya sudah cukup.” jawabku. Sebenarnya, aku masih sedikit kecewa dengan kelakuan Fauzan saat itu. Mungkin hal itu tidak akan kuampuni... selamanya. “Jadi pengen pulang, nih!”
          Harry menepuk punggungku. “Sabar, sob!”
          “Sopir!” sahut Reza.
          “Kau bisa ikut tampil dengan 26 Floors, Fauzan!” ajak Pak Saddam.
          “Hah? Oh, no... no... no thanks. Aku sedang sibuk mengurus ini semua.”
          “Dasar anak ngesok sibuk.” ejek Harry sedikit pelan.
          Walaupun pelan, kami semua mendengar apa yang diucapkan oleh Harry tadi. Kami semua tertawa terbahak-bahak—kecuali Fauzan dan Pak Saddam.
          Fauzan langsung pergi meninggalkan kami. Tak berapa lama, Fauzan datang menghampiri kami lagi. Kartu panitia yang tadi ia pasang di saku telah hilang. Ia juga tidak lagi membawa beberapa kertas yang berisikan urutan acara ini. “Bukannya aku ngesok sibuk, Harry genit! Well, aku akan tampil dengan 26 Floors hanya untuk hari ini saja. Lagu apa yang akan kita mainkan sebentar lagi?”
          Renald, Reza, dan Harry langsung senang mendengar apa yang diucapkan oleh Fauzan tadi. I’m not happy now. L
          Ketika tiba waktunya untuk 26 Floors tampil, aku langsung naik ke panggung dan segera melakukan check sound. Begitu juga dengan yang lainnya. Para penonton langsung bersorak melihat kami. Beberapa menit kemudian, akhirnya check sound kelar. Kami berlima sepakat memainkan lagu andalan 26 Floors ketika mengikuti lomba band antar SMA se-Jakarta 1 bulan yang lalu. Judul lagu tersebut adalah “Segalanya”. Aku mulai puas ketika melihat para penonton ikut bernyanyi bersama. Wow! 26 Floors terkenal tidak hanya di kota Jakarta! Mantap dah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar