Minggu, 07 November 2010

Perang di Bulan Puasa

            Assalamu’alaikum...”
            “Wa’alaikumsallam... Eh, Fauzan! Tumben pakai jilbab!”
            “Ini bukan jilbab—ini peci, kawan!”
            “Haha. Iya, aku tahu kok. Aku kan cuma bercanda?! Silahkan masuk, Fauzan!”
            Fauzan melepas sepatu Macbeth-nya dan bergegas masuk ke dalam rumahku. Fauzan tampak berbeda dari biasanya. Ia menggunakan busana muslim dan peci. Dan, didalam tas ranselnya terdapat sebuah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu Al- Qur’an. Tidak hanya Fauzan yang tampak berbeda hari ini, kami berempat juga begitu. Oh ya, sebenarnya, seluruh personil band 26 Floors sepakat untuk belajar Baca Tulis Al-Qur’an di rumahku selama bulan puasa ini, loh. Maaf baru bilang sekarang ya. Hehe.
            So, bulan ini kan bulan puasa?! Kami berlima sepakat untuk belajar hal tersebut setiap hari Senin, Rabu, dan Kamis pukul setengah 3 sore—tepatnya di rumahku. Kami memanggil seorang guru ahli Baca Tulis Al- Qur’an untuk mengajarkan kami. Well, daripada menganggur di rumah dan merasakan haus dan lapar melulu, mendingan cari pahala?! Iya tidak?
* * *
            Beberapa jam kemudian, waktu telah menunjukkan pukul setengah 5 sore. Pembelajaran Baca Tulis Al-Qur’an telah berakhir. Setelah guru ahli Baca Tulis Al-Qur’an, Ustadz Andhi Syafi’i, berpamitan pulang dan beranjak pergi, kami berlima ngabuburit bareng dengan cara berjalan-jalan mengitari kompleks rumahku. Nama kompleks rumahku adalah Kompleks Perumahan Mojosari Jakarta.
            Ketika di pertigaan jalan, kami bertemu dengan seorang laki-laki yang ternyata adalah tetanggaku. Namanya Kevin. Ia adalah tetangga sebayaku. Kebetulan sekali, ia juga ngabuburit bareng teman-temannya dengan cara yang sama sepertiku dan personil band 26 Floors lainnya. Kami semua langsung berkenalan antara satu dengan yang lainnya. Sambil berkenalan, kami semua asyik mengobrol di sebuah taman yang letaknya masih berada di Kompleks Perumahan Mojosari Jakarta.
            1 jam kemudian—tepatnya pada pukul setengah 6 sore. Aku, Fauzan, Renald, Harry, dan Reza segera berpamitan pada Kevin cs. dan bergegas kembali ke rumahku untuk berbuka puasa bersama. Sambil berjalan untuk kembali ke rumahku, kami berlima merasa bersyukur karena mempunyai teman baru di bulan puasa ini.
            “Hari ini adalah hari yang sangat menyenangkan!” ujarku girang sambil mengangkat kedua tanganku dan tersenyum lebar saking senangnya.
            “Puasa-puasa gini, sempet aja kamu merasa senang. Huffft.” Kesal Harry sambil memegang perutnya. Ternyata, ia merasa sangat lapar sekarang.
            Reza yang melihat kelakuan Harry itu langsung menggelengkan kepalanya.
            “Saga,” panggil Renald. “Rupanya, si Kevin cs. itu membentuk sebuah band, loh. Kalau tidak salah, nama bandnya adalah Mrs. X.”
            “Kenapa nama bandnya bukan Mrs.V aja? Lagipula, personil bandnya Kevin cs. ada 1 cewek tuh! Seksi lagi!”
            “Hush! Fauzan! Puasa-puasa gini, sempet aja kamu berpikiran jorok! Boleh itu!”
            “Loh?! Kok boleh, Harry?”
            “Eh! Maaf! Salah ngomong! Yang bener adalah tidak boleh. Maaf kalau aku salah ngomong tadi. Soalnya, aku laper banget nih! Sumpah!”
            “Aku juga laper, kurus! Namanya aja puasa!”
            Harry langsung memegang kepalanya. Mukanya berubah kesal karena Renald mendorong kepalanya tadi.
            “Sabar aja deh. Bentar lagi sampai ke tempat tujuan kok.”
            “BTW, temannya Kevin yang cewek tadi itu namanya Lanny ya?”
            “Oy! Fauzan!” kata Reza sambil mendorong kepala Fauzan hingga mengenai kepalaku. DUH! “Melanie mau kamu taruh di mana?”
            “Di hatiku!”
            “Udah loe jangan banyak gombal sama dia dah!” kesalku sambil mengelus kepalaku yang tadi mengenai kepala Fauzan karena ulah Reza.
            Renald langsung mengeluarkan kunci pagar rumahku dan segera membuka gemboknya. Saat pagar rumahku mulai terbuka sedikit, Harry langsung mendorongnya lebar-lebar dan bergegas masuk ke dalam rumahku. Dasar Harry yang tidak punya sopan santun!
            “Assalamu’alaikum...”
            “Wa’alaikumsallam... Hi, 26 Floors! Cepatlah! Sebentar lagi buka puasa, loh!
            That’s my little sister’s voices! Her name is Sandra. Ada Saga, ada Sandra. LOL.
            Di ruang makan, ada Harry yang duduk manis di kursi ruang makan. Fauzan dan Reza langsung mengikuti. Sedangkan aku dan Renald langsung membantu Sandra dan ibuku yang sedang menyiapkan hidangan untuk buka puasa sebentar lagi. Setelah itu, kami berempat langsung duduk di kursi ruang makan. Adzan Maghrib mulai berkumandang. Inilah tiba waktunya untuk berbuka puasa. Selamat berbuka puasa, all! J
            Pukul 11 malam, Fauzan, Renald, Harry, dan Reza telah berpamitan untuk pulang ke rumah. Besok adalah hari pertama masuk sekolah di bulan puasa. Oleh karena itu, kami berlima membatalkan rencana untuk menginap di rumahku selama satu minggu. Meski satu jam per mata pelajaran yang biasanya 45 menit—namun selama bulan puasa berubah menjadi 35 menit, tetap saja aku merasa malas untuk masuk sekolah. Krr. Oh ya, besok adalah hari pertama Fauzan kembali menjadi murid SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta juga, loh. Kemungkinan besar aku akan bersemangat masuk sekolah besok hanya karena menyambut kembalinya Fauzan. Yang lainnya..... NO WAY!
* * *
            Keesokan harinya, di SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta. Aku berlari menuju ke ruang kelasku hingga terpeleset dan menabrak seorang laki-laki. Kami berdua terjatuh dan segera bangkit tanpa ada bantuan. Seperti apa yang kuharapkan, ternyata aku menabrak...
            “FAUZAN!”
            “SAGA!”
            “FAUZAN!”
            “SAGA!”
            “FAUZAN!”
            “SAGA!”
            “FAU—“
            “Hei, kalian! Kalau kalian punya perasaan yang sama, langsung nyatakan, dong! Daripada melakukan hal ‘ manggil-memanggil ’kayak gini. Berisik, tahu!”
            Aku dan Fauzan tertawa mendengar protes dari Harry tadi. Harry pun juga ikut tertawa.
            “Kau hebat, Saga.” puji Harry sambil mengelus kepalaku. “Kau tiba di sekolah tepat pada wak—“
            Bel tanda masuk sekolah mulai berbunyi. Wah, rupanya aku tiba di sekolah ±2 menit sebelum bel tanda masuk sekolah berbunyi. Guru agama Islamku, Pak Imam, datang lebih cepat dari biasanya.
            Setelah membaca do’a secara bersama-sama untuk memulai program belajar-mengajar, Pak Imam langsung tersenyum ketika melihat Fauzan. Maksudnya apa nih?
            Tiba-tiba, Bu Risma masuk ke kelas kami tanpa permisi terlebih dahulu. Tampak seorang perempuan berseragam SMA dan bertopi AFENDS berjalan mengikuti Bu Risma di belakang. Wah! Ada murid baru nih!
            “Anak-anak,” panggil Pak Imam pada kami. “Berhentilah membaca buku sejenak karena kelas kalian kedatangan murid baru hari ini.”
            “Anak baru,” panggil Pak Imam pada perempuan bertopi AFENDS itu. “Silahkan memperkenalkan diri terlebih dahulu, anak baru!”
            Aku mengabaikan hal tersebut. Aku sedang asyik dengan diriku sendiri sekarang, yaitu menggambar sesuatu di halaman belakang buku tulis agamaku. Tapi, aku sempat melihat sekilas ekspresi terkejut di raut wajah Fauzan, Renald, Harry, dan Reza. What’s wrong?
            Tak berapa lama, aku merasakan ada seseorang datang menghampiriku. Dia memutuskan untuk duduk di bangku kosong tepat di sampingku. Anehnya, ia memberikan topi AFENDS padaku! Huh?
            Aku langsung menoleh kearah orang asing itu. Loh?! Lanny?! Aku langsung menggelengkan kepalaku. Aku menatap orang asing itu lagi. Ini memang Lanny! “Ja... Ja... Jad... Jadi... kam... kamu... ka... ka... kamu... anak... anak... anak barunya toh?”
            Lanny tersenyum. Ia langsung mencubit kedua pipiku dan segera menatap kearah papan tulis. Aduuuuuh... Kok deg-degan gini ya?
* * *
            Ketika tiba waktunya pulang sekolah, seluruh personil band 26 Floors berjalan menuju ke gerbang pintu SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta bersama dengan Lanny. Kami berenam bercanda tawa entah apa yang kami tertawakan itu.
            “Eh! Tunggu!” ujar Reza yang berhasil membuatku kaget.
            “Ada apa?” tanya Fauzan pada Reza sambil memakan sebungkus cemilan. Jiah! Ketahuan tidak puasa nih!
            Reza langsung mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas ranselnya. “Aku membuat sebuah lagu untuk band kita, loh. Judulnya adalah... tet-tet-tet-tet-tet-tet... Silahkan dilihat dan dibaca terlebih dahulu!”
            “Judul yang aneh, Reza.” kritik Harry pada Reza. “Jangan-jangan, lirik lagunya juga aneh tuh!”
            Reza langsung menghela napas. Sedangkan aku dan Renald cekikikan.
            “Nice song!” puji Fauzan sambil memberikan selembar kertas tersebut padaku. “Terinspirasi siapa nih? Shera?”
            Aku dan Renald membaca selembar kertas tersebut secara bersamaan. Kami berdua sempat cekikikan lagi mendengar pertanyaan Fauzan terhadap Reza tadi. Di lagu karangan Reza ini, berceritakan tentang seseorang yang melewati perjalanan hidupnya bersama segerombolan pecundang. Masak lagu ini terinspirasi dengan Shera, sih?! Tadi adalah pertanyaan aneh yang pernah aku dengar, Fauzan. You must to know that.
            Lanny langsung merebut selembaran kertas itu dariku. Ia langsung membaca dengan wajah yang sangat serius. Sambil menunggu Lanny selesai membaca, kami berlima membahas masalah tentang ngabuburit bareng yang akan diadakan di tempat berkumpulnya anak-anak yatim piatu. Selain itu, 26 Floors akan membantu orang-orang yang kesusahan juga. Wah wah. Sepertinya pahala yang akan terkumpul di bulan suci ini bakalan banyak dari puasa tahun lalu nih! LOL.
* * *
            1 minggu kemudian, pintu gerbang SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta telah terkunci hingga minggu depan. Yang berarti, minggu ini sampai minggu depan adalah... LIBUR!!!!!!!!!!!!!!
            Hari pertama liburan ini, aku manfaatkan untuk bermain skateboard bersama mantan sahabatku ketika SD dulu, Julian. Kami berdua bermain skateboard di lapangan skateboard dekat rumah Julian. Kami berdua bermain skateboard di sana tepatnya pada pukul setengah 5 pagi setelah sahur.
            Beberapa jam kemudian...
            “Eh, Saga,” panggil Julian padaku. “Kamu tahu band Mrs. X, tidak?”
            Mrs. X?! “Tahu. Kenapa?”
            “Coba deh! Dengerin lagu terbaru mereka!” suruh Julian padaku sambil memberikan handphone miliknya padaku. Di layar handphone-nya, terdapat gambar aplikasi Music Player yang akan memainkan lagu “My Adventure with The Losersby Mrs. X. Aku langsung menekan tombol “play” dan musik mulai terdengar.
            Hmm... Lirik yang menarik... Tapi... kok... Wait! Sepertinya lirik lagu ini tidak asing bagiku. Ini... seperti... lirik lagu karangan Reza! Apa?! Jadi, Mrs. X sengaja mencuri ide lagu milik 26 Floors?! Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Mengatakan pada personil band 26 Floors lainnya—atau langsung memarahi Kevin cs.—atau... memendam kejadian ini sendirian?
* * *
            2 hari kemudian...
            Aku memutuskan bahwa kejadian waktu itu harus dipendam sendiri. Aku tidak mau ribut dengan tetangga hanya karena masalah itu. Tapi, aku sempat mendengar kabar tentang Mrs. X dari Julian. Katanya, Mrs. X akan mengeluarkan lagu baru yang berjudul “Everything”. Mereka akan share lagu baru tersebut di MySpace mereka. Well, tinggal menunggu kapan mereka akan share lagu baru tersebut. Tapi, kenapa perasaanku ini ada yang aneh ya? Aku mulai tak kuasa lagi memendam kejadian waktu itu sendirian. Akhirnya, aku memutuskan untuk menceritakan semuanya pada pacarku tersayang, Anita.
            Setelah menceritakan semuanya padanya, Anita hanya berkata bahwa sebagai musisi, aku harus kuat menghadapi masalah seperti ini. Yang tahu jalan keluarnya hanyalah aku, 26 Floors, dan band payah itu—Mrs. X.
            Pukul 7 malam, aku menghampiri rumah Reza bersama Renald dan Sandra. Sesampainya di tempat tujuan, aku segera keluar dari mobil dan menekan tombol bel rumah tersebut. Tak berapa lama, orang yang memiliki rumah tersebut akhirnya keluar juga.
            “Halo, Saga! Halo, semua!” sapa Reza girang. “Kau tahu, aku sudah menemukan chord piano untuk lagu karanganku itu, loh! Kalian semua wajib untuk mengetahuinya!”
            Reza langsung menarik bajuku dan Renald. Sandra mengikuti di belakang kami. Setelah melihat Reza memainkan lagu karangannya dengan piano kesayangannya, kami bertiga langsung bertepuk tangan. “Pasti lirik lagu tersebut tidak asing lagi bagi para fans Mrs. X! Coba kau tanyakan pada mereka!”
            Reza langsung membelalakkan matanya. Sedangkan Renald dan Sandra, mereka sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya.
            “Maksudmu apa? Mrs. X sengaja mencuri ide laguku? Benarkah?”
            Aku, Renald, dan Sandra mengangguk bersamaan dengan raut wajah sedih. “I’m sorry, Reza.”
            Reza langsung memukul pianonya hingga berbunyi nada yang tak karuan. “Sialan! Kenapa semua ini bisa terjadi dan mengalir begitu saja? Jadi, tugas Lanny bersekolah di SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta adalah... untuk mencuri lirik lagu yang kubuatkan khusus untuk 26 Floors?! What the f*ck!”
            Sandra langsung memeluk Reza. “Sabar ya, kak. Sekarang, mari kita bicarakan masalah ini baik-baik. Kakak jangan meluapkan rasa emosinya itu berlebihan, ok?!”
            Reza langsung menghela napas. Ia mencoba untuk menahan emosinya itu.
            Well, tidak masalah ini saja yang tertimpa pada 26 Floors. Selama liburan puasa, 26 Floors dilanda berbagai macam bentuk permasalahan hingga kami tak kuat untuk melewatinya. Dan, anehnya, yang membuat masalah terhadap 26 Floors adalah band yang sama—yaitu Mrs. X! Ya Tuhan, maunya mereka itu apa sih? Kejam banget mereka melakukan hal itu terhadap kami! Mrs. X tidak hanya mencuri ide lagu milik 26 Floors yang dibuatkan oleh Reza—mereka juga mengubah dan menggantikan jadwal manggung kami tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Tak hanya itu. Ternyata, mereka juga mencuri ide lagu milik 26 Floors yang berjudul “Segalanya”! Tetapi, mereka hanya mengubah judulnya menjadi “Everything”! Ya Tuhan, kenapa cobaan padaku dan 26 Floors selama bulan puasa seperti ini? Aku kira, selama liburan puasa ini, jadwal manggung 26 Floors bakalan penuh—ternyata... tidak...
* * *
Beberapa hari kemudian, tak terasa bahwa hari ini adalah hari dimana hari bermaaf-maafan. Yup, hari ini adalah hari raya Idul Fitri. Selamat lebaran, all! Minal aidzin wal fa’ idzin! Mohon maaf lahir dan batin.
Hari ini, ayah dan ibuku merayakan hari raya Idul Fitri di Medan. Sedangkan aku harus mengurus adik perempuanku dan menjaga rumah. Aku disini tidak hanya bersama adikku yang bernama Sandra—nenekku menginap di rumahku selama seminggu. Keren!
Pukul 12 siang, aku menemani nenekku yang sedang menjahit bajuku di ruang televisi. Aku menatap apa yang dijahit nenekku itu. Dia menjahit dengan sangat teliti. Sungguh menakjubkan.
“Ada apa kamu, nak?” tanya nenekku lemah lembut.
Aku hanya tersenyum dan menggeleng.
“Nak, sudahkah kamu berkenalan dengan cucu baru nenek?”
Aku tersenyum dan menggeleng lagi.
“Kau tahu bahwa pakdemu baru saja menikah, bukan?! Ia menikah dengan seorang wanita handa yang sudah memiliki seorang anak laki-laki tampan sebaya denganmu.”
Aku langsung menanggapi ini dengan wajah serius. Anak laki-laki sebaya denganku? “Siapa itu, nek?”
“Oh, rupanya kau belum berkenalan dengannya. Padahal, dia tinggal di daerah sekitar sini juga, loh.”
Huh?
Nenekku mengelus kepalaku dengan lembut. “Kau benar-benar tidak tahu kabar pakdemu sekarang ini ya.”
“Maaf, nek. Aku mendengar kabar terakhir tentang pakdeku waktu ia bercerai dengan istrinya 3 tahun yang lalu. Hanya itu saja.”
Nenekku tersenyum. “Menantu nenek yang baru itu akan ke sini bersama anaknya sebentar lagi.”
Tiba-tiba, terdengar bel rumahku berbunyi. Seseorang ada yang datang kemari! Apakah ia adalah menantu baru nenek tersebut? Aku langsung membukakan pintu dengan perasaan tidak sabar untuk melihat siapakah mereka. Dan, apa yang kulihat adalah...
“Hai, Saga!” sapa laki-laki itu dengan senyuman memaksa.
“Kevin?!”
Tampak di belakang Kevin adalah ibu Kevin. “Hai, Saga! Kau tampan sekali!”
Ia mengelus kedua pipiku. Sedangkan aku merasa bingung sendiri.
            “Bolehkah kami masuk?”
            “Oh, silahkan! Maaf kelupaan nih!”
            Aku mengantarkan kedua tamu itu sampai ke ruang televisi. Di sana, nenekku menyambut dengan girang. Apakah ibu Kevin adalah istri pakdekku? Oh, man...
            “Saga,” panggil nenekku. “Tolong ajak Kevin ke kamarmu ya! Ini adalah waktu yang tepat untuk kalian berdua saling mengenal antara satu dengan yang lain!”
            Aku mengangguk sambil tersenyum atas paksaan hatiku sendiri. Aku langsung menarik tangan Kevin dan mengajaknya masuk ke dalam kamar tidurku.
            Kevin menatapku sinis—begitu juga denganku.
            “Ok, fine!” kesalku. “Maumu apa? Mau menyiksa keluargaku juga? Tidak akan kubiarkan!”
            “Hei! Siapa yang akan menyiksa keluargamu? Aku? Tentu saja tidak!”
            Aku langsung melipat kedua tanganku di depan dada. Aku menunggu apa yang akan ia katakan padaku sekali lagi. Dan, aku berharap apa yang ia katakan itu adalah perkataan yang jujur.
            Kevin duduk di tepi tempat tidurku. “Semua itu berawal dari pertemuan pertama antara kau, aku, 26 Floors, dan Mrs. X.”
            Sepertinya ia akan berkata jujur padaku. Ok. Terserah. Lanjutkan.
            “Aku kira yang mengarang 2 buah lagu itu adalah Lanny. Dan, aku sendiri juga tidak tahu bagaimana caranya Lanny mengganti jadwal manggung 26 Floors. Aku baru tahu semuanya tadi malam. Kau kenal Julian, bukan?!”
            Anak ini sengaja memindahkan topik atau bagaimana? “Of course! He’s my best friend when I play skateboard! He’s totally cool!”
            Kevin mengangguk. “Dia yang menceritakan padaku semuanya tadi malam.”
            Aku langsung terkejut. Sungguh masyarakat sempit! “Lalu, mengapa Lanny melakukan hal itu padaku dan 26 Floors?”
            Kevin mengangkat bahu. “Aku dan Julian juga tidak tahu kenapa.”
            Aku langsung memegang kepalaku dengan kedua tanganku. Aku memikirkan bagaimana caranya agar masalah ini terungkap semuanya. Sambil berpikir, aku melihat 4 kaki yang terdapat dibawah tempat tidurku. Aku berjalan memutari tempat tidurku dan akhirnya aku menemukan wajah manusia yang bersembunyi dibawah tempat tidurku itu. “Buruan keluar! Bantuin aku berpikir sekarang, dong!”
            Mereka berdua langsung keluar. Mereka berhasil membuat Kevin melompat kaget. Yup, mereka berdua adalah Sandra dan Reza.
            Tiba-tiba, Kevin mengangkat tangan kanannya. “I have a good idea.”
* * *
            Malamnya, Kevin masih berada di rumahku. Sedangkan ibunya sudah kembali ke rumahnya. Malam ini, aku, Kevin, Sandra, Reza, dan Harry akan mengunjungi rumah Lanny.
            Sesampainya di sana, aku langsung keluar dari mobil sendirian. Sedangkan yang lainnya hanya menunggu di dalam mobil. Sungguh menyebalkan. Tidak hanya hal ini yang membuatku sebal. Teman-temanku serta adikku menyuruhku untuk berdandan rapi sambil membawa sebuket bunga mawar untuk Lanny. Dan, mereka menyuruhku untuk berakting seakan-akan aku mencintai Lanny. Yaiks! Aku itu sudah punya Anita, tahu!
            Setelah menekan tombol bel rumah Lanny, dengan cepat orang pemilik rumah ini membukakan pintu. “Saga? Is this for me?”
            “Iya. Ini bunga untukmu, Lanny.” jawabku berbohong. Yaiks! Lidahku terasa gatal sekali bila aku mengucapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nuraniku sendiri!
            Lanny mengajakku masuk. “Sedang apa kau ke sini? Dan, mengapa kau berpakaian rapi?”
            Aku menggaruk kepalaku. Sebaiknya aku tidak perlu berlama-lama di sini dan harus menyampaikan yang sesungguhnya secara langsung. “Kenapa kau tidak mengatakan padaku bahwa kau mencintaiku?”
            Lanny langsung kaget, begitu juga denganku. Oh, tidak! Aku salah berbicara! “Eh... Maksudku...”
            “Bagaimana kau tahu yang sebenarnya, Saga?”
            Apa? Serius? Jadi, Lanny beneran cinta sama aku?
            Ia langsung menggenggam kedua tanganku. “Aku minta maaf kalau aku tidak mengatakan yang sebenarnya padamu selama ini. Aku benar-benar minta maaf.”
            Aku langsung melepaskan tanganku dari genggaman Lanny. “Jadi, itu alasannya mengapa kau menyiksaku dan 26 Floors?”
            Lanny langsung berucap dengan terbata-bata. “I’m... I’m so... so so... sorry, Saga. Aku kira dengan cara seperti itu, kau akan bercerita banyak denganku. Dan, aku akan membantumu menyelesaikan masalah ini. Ternyata, apa yang aku harapkan salah. Saga, aku minta maaf!”
            Ia langsung meneteskan air mata dan tunduk di hadapanku. Aku yang melihat hal itu langsung memintanya berdiri lagi. “Hey, girl. Tenang aja. Aku memaafkan kesalahanmu itu kok. Tapi, bukan begini caranya kalau kamu ingin seorang laki-laki mencintaimu dari hati yang tulus.”
            “Aku tahu kalau cara ini sangat kasar dan menyakitkan. Tapi, aku bingung bagaimana caranya untuk mendapatkan cintamu itu, Saga.”
            Sungguh mengejutkan. Memang awal bertemu dengan Lanny, aku sempat suka dengannya. Itulah penyebabnya kenapa aku berkata “Hari ini adalah hari yang sangat menyenangkan!” setelah bertemu dengan para personil band Mrs. X. Tapi, itu tidak berarti bahwa aku cinta dengannya.
            Lanny masih meneteskan air mata. Sekarang, tangisannya lebih deras. Aku langsung memeluknya. “Aku minta maaf kalau aku tidak bisa membalas cintamu itu ya. Sekarang, aku minta kamu untuk menjelaskan ke semua orang lewat dunia maya bahwa 2 buah lagu milik Mrs. X merupakan bukan hak cipta asli milik Mrs. X, melainkan 26 Floors. Satu lagi, aku minta kamu untuk tidak mengulangi kesalahan ini lagi. Ok?!”
            Lanny memelukku erat-erat sampai membuatku tak bisa bernapas lega. “Terima kasih banyak, Saga! Aku akan melakukan apa yang kamu minta tadi. Kamu adalah laki-laki yang baik, Saga.”
            “Sekarang, ikut aku keluar ya. Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu.”
            Lanny mengusap air matanya dengan kedua tangannya. Wajahnya berubah menjadi heran. “Siapa?”
            Aku menggandeng tangan Lanny dan mengajaknya ke depan rumahnya. Tampak Kevin, Sandra, Reza, dan Harry di depan pagar rumah Lanny. Lanny tampak senang melihat mereka semua datang ke rumahnya.
            Tak berapa lama, aku langsung mendorong Harry pelan. Harry langsung menghela napas. “Wish me luck.”
            Harry berjalan menghampiri Lanny. “Hei, Lanny. Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu.”
            Lanny yang sedang bercanda tawa dengan Sandra langsung berhenti setelah mendengar ucapan Harry tersebut. “Ok. Apa itu?”
            Harry langsung menekan tombol pada remote dan lampu-lampu yang menghiasi pagar rumah Lanny langsung menyala. Lampu-lampu itu membentuk suatu kalimat yang sangat romantis! Lanny yang melihat hal itu langsung menangis terharu. “Is that true?”
            Harry mengangguk.
            Lanny langsung melompat senang dan memeluk Harry. “I love you, too, Harry.”
            Akhirnya, masalah ini selesai dengan damai. Harry akhirnya bisa menyatakan perasaan yang sesungguhnya pada Lanny. Dan, Lanny pun menerimanya dari hatinya yang tulus.
            Serta, perkelahian antara 26 Floors dan Mrs. X pun juga berakhir. Mrs. X memutuskan untuk menghapus 2 buah lagu yang merupakan hak cipta milik 26 Floors. Mereka memutuskan untuk mengganti 2 buah lagu itu dengan sebuah lagu duet dengan 26 Floors dan sahabat sejatiku, DJ Julian. :)

Jumat, 29 Oktober 2010

Fauzan, Is That You?

       Bangun pagi adalah suatu hal yang sangat menyenangkan bagiku. Aku berlari menuju ke kalender yang terletak disamping meja belajarku. Tak terasa bahwa hari ini adalah tanggal 13 Mei 2010. Saking senangnya untuk menjalani kegiatan hari ini, aku terpeleset karena menginjak skateboard-ku. Bukannya merasa kesakitan, aku malah tertawa gembira.
          Pukul setengah 8 pagi, di SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta. Murid-murid kelas II IPA sudah menunggu di bandara Soekarno-Hatta. Aku melihat bahwa tak satupun dari mereka yang tidak membawa tas ransel atau bahkan koper. Asalkan kau tahu, hari ini adalah dimana seluruh murid kelas II IPA SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta akan berekreasi di Surabaya selama 5 hari. Tapi, sampai detik ini, aku masih belum tahu di mana kami akan menginap. Aku berharap apabila kami tidak menginap di rumah nenekku.
Akhirnya, pemberangkatan molor sampai pukul setengah 9 pagi. Selama perjalanan, di pesawat, aku duduk dengan Harry. Kami berdua bercanda tentang segala hal. Bahkan, kami tidak peduli apabila ada seseorang yang tertidur hingga banyak orang yang sempat protes. Sorry!
          1 jam kemudian, kami telah sampai di Surabaya. Aku bengong ketika melihat sebuah toko bernama Rotiboy dihadapanku. Andai saja aku dapat membelinya. Namun sayang, kami semua harus cepat-cepat menuju ke hotel.
          Sesampainya di hotel, setelah pembagian kunci kamar. Kami semua menginap di hotel berbintang lima, yaitu hotel Shangri-La Surabaya. Aku sekamar dengan Harry dan Reza. Maklum saja apabila kamarku hanya berisi 3 orang karena kami bertiga kebetulan menempati kamar hotel yang kecil, atau disebut juga suite room.
          “Tempat tidurnya sangat empuk, Saga.” ujar Harry sambil berbaring diatas tempat tidurnya. Ia langsung melepas baju dan celana jeans-nya. Tak peduli di mana ia menaruh baju dan celana jeans-nya, ia langsung tidur nyenyak.
          Sedangkan Reza, ia sedang asyik memeriksa kamar hotel yang kami tempati ini. Ia memeriksanya secara detail.
          “Tenang aja lah, Reza.”ucapku pada Reza. “Di dalam kamar hotel ini tidak ada benda-benda tajam kok! Tapi, ada pencurinya!”
          Reza langsung membelalakkan matanya dan menatapku serius.
          “Ini pencurinya.” ucapku lagi sambil menunjuk Harry yang sedang tidur.
          Reza menggerutu kesal. Ia kembali melakukan hal yang sama. Sedangkan aku langsung membawa tas laptopku dan pergi ke lobby hotel. Di sana, ada Pak Saddam yang sedang mengobrol dengan salah satu pegawai hotel ini. Aku langsung datang menghampiri mereka.
          “Hai, ayah!” sapaku pada Pak Saddam alias ayah kandungku. “Whatzup?”
          “Begini, Saga, apakah kau tidak keberatan untuk menolongku?”
          Aku menggeleng.
          “Ok. Terima kasih, nak. Jadi, begini, aku minta bantuanmu untuk memanggil 4 kapten atau wakil kapten dari masing-masing ekstrakurikuler. Pastinya mereka yang mengikuti acara rekreasi ini. Kau paham maksudku, kan?!”
          “Sepertinya.” kataku sambil menggarukkan kepala. Sebenarnya, aku tak paham dengan apa yang dimaksud oleh Pak Saddam.
          “Ok. Suruh mereka untuk menemuiku di sini. Cepatlah!”
          Aku menggangguk dan segera melaksanakan perintah dari Pak Saddam tadi.
          Setelah memanggil 4 kapten atau wakil kapten dari masing-masing ekstrakuriler, yakni Reza, kapten ekstrakuriler basket; Renald, wakil kapten ekstrakurikuler seni teater; Cynthia, kapten ekstrakurikuler cheerleaders, dan Fitri, wakil kapten ekstrakurikuler pencak silat—aku pun juga berjalan menuju ke lobby hotel.
          “Jadi, begini” jelas Pak Saddam. “Saya memanggil kalian semua untuk mengikuti saya menuju ke SMA Bintang Kejora 3 Surabaya. Di sana, kalian akan mewakili setiap ekstrakurikuler yang ada di SMA kita. Dan, kalian juga harus menjaga nama baik SMA kita, ok?!”
          “SMA Bintang Kejora?!” tanya Reza padaku. “Seharusnya ada SMA Bintang Virgo!”
          “Mendingan SMA Bintang Leo!” candaku. “Jika kau menjadi anak bandel di sekolah tersebut, maka kau akan dimakan oleh singa bernama Leo! Ham! Nyam-nyam!”
          Reza mendorongku dan tertawa.
          “Dan, untuk Saga” kata Pak Saddam. “Kau harus ikut bersama kami. Ajak Harry juga, ok?!”
          Aku mengangguk. Sebenarnya, acara apa yang akan hadiri itu? Makan bersama? Atau pameran WC? Ada yang tahu tidak?
          Sesampainya di tempat tujuan, aku terkejut melihat bentuk gedung sekolah itu. Gedung sekolah tersebut berbentuk pohon natal yang diatasnya terdapat sebuah tiang berbentuk bintang kejora! Sekolah apaan, nih? Tiba-tiba, aku merasakan ada seorang perempuan berbisik padaku. Ia menyuruhku untuk menemuinya di dalam ruang aula SMA Bintang Kejora 3 Surabaya. Aku langsung berjalan menuju ke sana sendirian tanpa ada yang menemaniku.
          Di sana, aula itu tampak sepi. Tetapi, diatas panggung, single spotlight menyorot sebuah kursi yang terletak diatas panggung. Aku menoleh ke kanan—lalu ke kiri, meyakinkan diriku bahwa tak ada sesuatu yang harus ditakuti di sini. Ketika aku kembali menatap sebuah kursi yang disorot oleh single spotlight, tiba-tiba, aku melihat ada seorang laki-laki yang duduk di kursi tersebut! Kulitnya pucat seperti orang mati. Bola matanya berwarna merah dan hitam. Badannya penuh dengan darah. Wajahnya pun sudah tidak tampan lagi. Dan, terdapat sebuah pisau yang menancap di perut dan dadanya. Bahkan, ia selalu meneteskan darah setiap detik dari matanya!
          Mulutku ternganga dan aku segera keluar dari aula ini. Namun... oh, tidak... PINTU AULA INI TERKUNCI DARI LUAR! Aku langsung menggubrak pintu aula sekeras mungkin. Tapi, tetap saja pintu itu tidak terbuka. OMG! SESEORANG! KUMOHON TOLONG AKU!
          Seorang laki-laki yang duduk di kursi itu langsung datang menghampiriku. Ia memohon padaku untuk bersikap tenang sebentar.
          “Hai, Saga!” sapanya.
          “B... b... bagai... bagaimana... kau... bagaimana kau bisa tahu namaku?” tanyaku dengan perasaan yang belum tenang. “Maksudku, itu bukan... bukan namaku! A... ak... aku... aku bukan S... Aku bukan Sag... Aku bukan Saga!”
          “Jangan boong, deh! Kamu nih memang ada-ada aja!”
          Eh, hantu ini kok bisa humor ya? Apaan, deh! Perasaanku masih juga belum tenang. Aku masih berusaha untuk segera keluar dari aula ini.
          “Chill, dude! I’m your ex. BFF!”
          Aku makin panik mendengar ucapan hantu tersebut. ‘ I’m your ex. BFF ‘ ? Who are you? Aku berhenti menggubrak pintu dan segera menoleh ke hantu tersebut dengan pelan. Aku takut memandangnya. Coba bayangkan, deh! Seakan-akan mau jatuh pingsan dan tak akan bangun lagi, nih!
          “Saga,” panggilnya. Ia langsung memelukku. Air mata darahnya mulai membasahi bajuku. Aku membalas pelukan darinya.
          “Ini aku. Aku Fauzan!”
          Aku langsung membelalakkan mataku. Fauzan?! Kamu kok di Surabaya?! Dan, mengapa kau berdandan seperti hantu belagu begini, toh?!
          “Ketika aku pindah ke Surabaya dan hari pertamaku bersekolah di sini, believe it or not, aku mati di sini. Dan, sekarang, aku tidak bisa hidup tenang di sini. Matilah bersamaku! Come on!”
          Fauzan...
          “Saga! Please! Don’t leave me alone!”
          Aku langsung melepas pelukannya. “Kau ingat ketika caramu meninggalkan aku? Kau ingat 26 Floors, kan?! 26 Floors memang bisa maju tanpamu, tapi, caramu meninggalkan aku, Harry, dan Reza itu yang tidak bisa aku maafkan sampai sekarang!”
          “Well, daripada hal itu masih membekas di hati kamu, mendingan kamu mati dan menemaniku di sini. Aku akan menjelaskan semuanya kok!”
          “Enggak!”
          “Oh! Jadi, kamu menentang sahabatmu sendiri?! Ok! Kalau begitu, rasakan kutukannya! Aku pun juga tidak akan memaafkanmu!”
          Tiba-tiba, dari arah samping kanan dan kiri muncul banyak benda tajam. Benda tajam itu terbang dan mengarah ke padaku! Dan...
          “SHIT!”
          “Eh, Saga! Bangun-bangun kok sudah ngomong kotor?! Tidak sopan, ah!”
          “Eh, Harry! Aku tidak mati, kan?!”
          Harry memandangku dengan tatapan heran. Ia memang tidak tahu apa yang kumaksud sekarang.
          Rupanya, tadi hanyalah mimpi. Aku dan yang lainnya masih berada di dalam mobil—perjalanan menuju ke SMA Bintang Kejora 3 Surabaya. Syukurlah, aku terbangun tepat pada waktunya. Itu adalah kali pertamanya aku bermimpi tentang “hantu datang menghampiriku”. LOL.
          “Sudah sampai!” ujar Pak Saddam.
          Kami semua langsung keluar dari dalam mobil. Aku menghembuskan nafas lega karena gedung sekolah ini tidak sama seperti yang ada dalam mimpiku. Gedung sekolah ini bentuknya normal kok. LOL. Pak Saddam menyuruh kami masuk ke gedung aula. Aku langsung teringat dengan apa yang terjadi dalam mimpiku. Perasaan takutku itu sampai di dunia nyata tetap saja tidak akan hilang. Aku langsung menggandenga tangan Reza. Tapi... tunggu... masak tangannya Reza selembut ini ya? Jangan-jangan... aku salah menggandeng tangan orang, nih! Mampus nih!
          “Saga?!” kejut Reza yang ternyata berada di belakangku. “Tumben banget kamu...”
          Tuh, kan?! Aku beneran salah menggandeng tangan orang! Terus, ini tangan siapa? Jiah...
          “Oy!” bentak orang yang aku gandeng itu. Ia langsung menyingkirkan tanganku dari tangannya.
          Maaf, deh, Renald...
          Kami semua dipersilahkan duduk di kursi barisan paling depan oleh sahabat lama Pak Saddam, namanya Pak Johnson. Dia adalah sahabat ayahku ketika masih duduk di bangku SMA. Sekarang, dia menjadi guru Bahasa Inggris SMA Bintang Kejora 3 Surabaya. Karenanya, SMA Bintang Kejora 3 Surabaya semakin maju dalam mata pelajaran Bahasa Inggris. Sekolah ini sering mengikuti olimpiade Bahasa Inggris dan membawa pulang tanpa tangan kosong. Salut banget, deh!
          Tak kuduga bahwa aku duduk diantara Renald dan Harry. Sedangkan Reza, ia duduk disamping Harry. Terdapat kursi kosong disamping Renald. Sekitar 2 menit kemudian, Pak Saddam datang menghampiri kami.
          “Saga!” panggilnya. “Cepat ikut saya!”
          Aku langsung berdiri dan merapikan bajuku.
          “Bagaimana denganku?” tanya Renald pada Pak Saddam. Dia selalu ikut campur suatu hal. Itulah hal yang tidak kusukai... sangat.
          “Ya, kau juga!” jawab Pak Saddam. “Kau juga, Reza dan Harry!”
          “Me?!” panik Harry.
          Reza memukul dahinya. Ia paling sebal ketika Harry mulai panik seperti itu. “Chill, dude! Kau tidak akan bertemu dengan hantu disana kok!”
          “Oh, good!” ucap Harry tenang.
          “Cepatlah sedikit, nak!” suruh Pak Saddam.
          Kami berjalan menuju ke backstage. Tampak beberapa panitia penyelenggara acara ini.
          “Kalian berempat akan menjadi guest-star di acara ini.” jelas Pak Saddam. “Ini adalah surprise yang sangat... sangat... menakjubkan untuk kalian.”
          Aku, Renald, Reza, dan Harry mulai penasaran dengan surprise yang akan diberikan oleh Pak Saddam pada kami.
          “Saya membutuhkan 26 Floors sebagai bintang tamu di acara ini.”
          “WHAT?!” kejutku, Renald, Reza, dan Harry bersamaan.
          “Lupakan masalah yang membuat kalian terpecah belah waktu itu. Kalian adalah satu-satunya harapan saya dan SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta. Apakah kalian mau menyia-nyiakan kesempatan ini?”
          “Mau!” jawab Harry.
          “Kamu mau menyia-nyiakan kesempatan ini, Har?” tanyaku.
          “Maksudku, aku mau tampil dengan 26 Floors sekarang. I’m ready!”
          “Hurray.” kesal Renald.
          Aku langsung membuka tas ranselku dan mengeluarkan sebuah barang. Aku memberikan barang tersebut pada Renald. Semoga ini ampuh untuk mengubah Renald sekarang. “Kau bisa melakukannya—untuk saat ini saja.”
          Renald menatapku. Wajah kesalnya langsung berubah seketika. Ia langsung menerima stick drum yang kuberikan padanya. “Baiklah. Aku takkan menyia-nyiakan kesempatan ini. Lagipula, aku sudah lama sekali tidak memainkan sebuah alat musik bernama drum.”
          Reza terharu. Ia langsung memeluk Renald. Harry juga ikut memeluk Renald. Begitu juga denganku.
          “Yow, Pak Saddam!” panggil Renald.
          DASAR ANAK YANG TIDAK SOPAN DENGAN AYAHKU!
          “Bagaimana dengan alat musiknya?”
          “Sudah kusediakan, loser!”
          Aku, Reza, dan Harry tertawa mendengar jawaban Pak Saddam tadi. Tenanglah, Renald. Ia hanya bercanda kok.
          Tampak seorang laki-laki datang menghampiri kami berlima. Ia adalah salah satu dari panitia penyelenggara acara ini. Ia sedang sibuk membaca urutan acara dan menjelaskan pada kami berlima. Ketika ia selesai, ia langsung menatap kami dengan wajah terkejut. Begitu pula dengan kami—kecuali Pak Saddam.
          “KALIAN?!”
          “FAUZAN?!”
          “Pak Saddam! J”
          “Sedang apa kalian berada di backstage? Ingatkah ketika terakhir kita bertemu? Apakah itu belum cukup?”
          “Kita akan tampil demi 26 Floors dan sekolah. Oh, aku sangat ingat ketika terakhir kita bertemu. Sungguh tragedi. Sepertinya sudah cukup.” jawabku. Sebenarnya, aku masih sedikit kecewa dengan kelakuan Fauzan saat itu. Mungkin hal itu tidak akan kuampuni... selamanya. “Jadi pengen pulang, nih!”
          Harry menepuk punggungku. “Sabar, sob!”
          “Sopir!” sahut Reza.
          “Kau bisa ikut tampil dengan 26 Floors, Fauzan!” ajak Pak Saddam.
          “Hah? Oh, no... no... no thanks. Aku sedang sibuk mengurus ini semua.”
          “Dasar anak ngesok sibuk.” ejek Harry sedikit pelan.
          Walaupun pelan, kami semua mendengar apa yang diucapkan oleh Harry tadi. Kami semua tertawa terbahak-bahak—kecuali Fauzan dan Pak Saddam.
          Fauzan langsung pergi meninggalkan kami. Tak berapa lama, Fauzan datang menghampiri kami lagi. Kartu panitia yang tadi ia pasang di saku telah hilang. Ia juga tidak lagi membawa beberapa kertas yang berisikan urutan acara ini. “Bukannya aku ngesok sibuk, Harry genit! Well, aku akan tampil dengan 26 Floors hanya untuk hari ini saja. Lagu apa yang akan kita mainkan sebentar lagi?”
          Renald, Reza, dan Harry langsung senang mendengar apa yang diucapkan oleh Fauzan tadi. I’m not happy now. L
          Ketika tiba waktunya untuk 26 Floors tampil, aku langsung naik ke panggung dan segera melakukan check sound. Begitu juga dengan yang lainnya. Para penonton langsung bersorak melihat kami. Beberapa menit kemudian, akhirnya check sound kelar. Kami berlima sepakat memainkan lagu andalan 26 Floors ketika mengikuti lomba band antar SMA se-Jakarta 1 bulan yang lalu. Judul lagu tersebut adalah “Segalanya”. Aku mulai puas ketika melihat para penonton ikut bernyanyi bersama. Wow! 26 Floors terkenal tidak hanya di kota Jakarta! Mantap dah!

Selasa, 26 Oktober 2010

Friendshit!

            “Kembali lagi bersamaku, FJ Fauzan, with my BFF, VJ Saga, dalam acara MTV Ampuh!” ujar Fauzan sambil menatap sebuah kamera dihadapannya. “MTV?! Ampuh banget, deh!”
          “Lebih ampuh, tuh!” sahutku sambil mengacungkan kedua jempolku.
          Now, aku dan Fauzan menjadi VJ dalam sebuah acara tv yang selalu ditunggu-tunggu oleh para remaja. Sebelumnya, kami berdua iseng mengikuti audisi VJ Hunt 2010 yang diadakan oleh MTV. Akhirnya, kami berdua terpilih dan masuk final. Banyak orang yang mendukung kami, termasuk seorang perempuan yang telah menerimaku apa adanya hingga detik ini, Anita, sehingga kami berdua lolos dan terpilih sebagai pemenang VJ Hunt 2010. Dan, kebetulan sekali, kami berdua dikontrak dan dijadikan sebagai partner/pasangan VJ dalam acara MTV Ampuh. Padahal, sebelumnya, kami berdua tidak meminta untuk dijadikan sebagai partner/pasangan VJ dalam acara tersebut. Bahkan, Fauzan berharap kalau partner/pasangan VJ-nya adalah seorang perempuan cantik dan seksi. Ok, well, itulah arti dari teman. “Selalu bersama di manapun dan sulit untuk dipisahkan”.

* * *

          30 menit kemudian, pekerjaanku dengan Fauzan akhirnya kelar juga. Setelah mendapat pujian dari teman-teman yang juga berada di kantor MTV, kami berdua langsung menuju ke studio band yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Sesampainya di sana, di dalam studio II, ada Harry dan Reza. Mereka sudah menunggu kedatangan kami 10 menit yang lalu. Maaf telah menunggu lama, bro.
          “Renald mana?” tanya Fauzan pada Harry.
          Harry hanya mengangkat bahu dengan raut wajah cemberut.
          “What’s wrong?” tanyaku pada Harry sambil merangkulnya.
          Harry hanya menggeleng. Ia masih dengan raut wajah cemberut.
          “Renald meminta kami berdua datang ±10 menit sebelum latihan band dimulai.” kata Reza menjawab pertanyaan dari Fauzan tadi. “Lalu, ia datang membawa kabar buruk bagi kami berdua.”
          Ok. Lanjutkan lagi, Reza! Kau membuatku semakin penasaran. Saatnya memasang telinga baik-baik, nih!
          “Dia mengatakan bahwa ia akan mengikuti seni theater di sekolah kita hari ini. DIA MENGIKUTI EKSKUL SENI THEATER! Kau tahu itu, kan?!”
          “APA?!” panikku dengan Fauzan bersamaan. “SENI THEATER?!”
          Ok, ok. Sepertinya ada yang salah dengan Renald. Dia pernah mengkritik pedas tentang seni theater. Tapi ia mengatakan kritikan tersebut terhadapku. Sungguh aneh. Memang, sih, akhir-akhir ini Renald tampak aneh di hadapan kami. Ia seperti menyembunyikan sesuatu dari kami. Hal ini membuatku penasaran dan perasaan ingin tahu pun muncul. Cukup mudah untuk mengetahui itu semua, tanyakan saja pada kedua orangtua Renald karena mereka telah mengenalku lebih dekat dan bahkan, mereka menganggapku seperti anak kandung mereka sendiri. Well, that’s me! That’s my life! Aku hanya tinggal menunggu kapan tiba waktunya aku bertanya pada mereka.

* * *

          3 hari kemudian, pukul 8 malam, aku menuju ke rumah Renald. Sesampainya di sana, aku melihat banyak mobil yang parkir di depan rumah Renald. Apakah malam ini ada sebuah pesta di rumah Renald? Aku segera menekan tombol bel rumah Renald yang terletak di samping pintu masuk menuju ke rumah Renald.
          “Oh, my Saga!” ujar ibu Renald yang membukakakan pintu padaku. Ia langsung memelukku. “Masuklah. Renald berada di ruang tv.”
          “Sebenarnya, aku ingin bertemu dengan anda, Mrs. Renald.” ujarku.
          “Oh, maafkan saya, Saga. Saya hari ini sedang sibuk sekali. Kalau kau mau, kau bisa menunggu saya sampai saya selesai menyelesaikan semuanya. Saya tak akan lama kok. Kau bisa menunggu saya di ruang tv bersama Renald dan teman-temannya.”
          Renald dan teman-temannya? Apakah Fauzan, Reza, dan Harry juga berada di sini? Mengapa mereka bertiga tidak mengatakannya padaku?
          Aku masuk ke rumah Renald dituntun oleh ibu Renald—seperti  seorang ibu menuntun anaknya yang masih berumur ±3 tahun. Di ruang tv, banyak orang yang tampak tidak asing bagiku. Ternyata, mereka adalah teman-teman satu sekolahku, tetapi, dari kelas yang berbeda-beda. Dan, ternyata, mereka adalah… PECINTA SENI THEATER!
          “Hi, dorky!” sapa salah satu dari mereka padaku.
          “Dia tampak seperti buah apel!” ejek salah satu dari mereka padaku.
          Semua orang yang berada di ruang tv langsung menertawakanku. Dorky? Am I? Buah apel? Am I? Sepertinya mereka semua memiliki sebuah penglihatan yang tidak biasa seperti orang normal. Mereka memiliki sebuah penglihatan seperti hewan monyet! Well, kalau begitu, alangkah indahnya apabila aku takkan mendengar sapaan  konyol dari mereka itu.
          “Saga?!” kaget Renald yang tiba-tiba nongol di belakangku sambil membawa sekaleng Coca Cola.
          Aku langsung menoleh ke arah Renald. “We need to talk. Face to face.”
          Renald mengajakku berbicara di lemari pakaiannya yang sangat besar—seperti lemari pakaian milik Hannah Montana.
          “What’s wrong?” tanya Renald padaku.
          “Kau tampak aneh di akhir pekan ini, sob.” Jawabku. “Kau seperti menyembunyikan sesuatu dari teman sejak kecilmu ini.”
          Renald hanya terdiam dan menatapku dengan tatapan kosong.
          “Ok.” kataku. “Terserah kamu mau bilang atau tidak. Aku pulang ya. See you tomorrow!”
          Renald langsung menghentikan langkahku. “Ok, fine! Aku memang menyembunyikan sesuatu darimu, Fauzan, Harry, dan Reza atau disingkat menjadi 26 Floors. Entah kenapa, tiba-tiba aku mengetahui bakatku yang sebenarnya. Aku tidak hanya mampu bermain drum, tetapi juga mampu berakting…”
          “Jadi,” selaku. “Menyembunyikan sesuatu dariku adalah suatu latihan untuk seni theater yang kamu ikuti itu?”
          “NO! Aku hanya… aku hanya ingin… aku hanya ingin bang kita takkan bubar hanya karena aku jatuh cinta dengan seni theater sekarang.”
          “Chill, dude. Aku dan yang lainnya takkan melakukan hal bodoh itu. Kita pasti akan mendukungmu untuk…”
          Ada seseorang yang mengetuk pintu lemari pakaian milik Renald. Renald segera membukakan pintu lemari pakaian miliknya.
          “So,” ujar perempuan itu padaku. “Kaukah yang bernama Saga?”
          Dia langsung masuk ke lemari pakaian milik Renald dan berjalan ke arahku. “Suatu hal yang sangat mulia bertemu denganmu, Saga.”
          Eh! Ni cewek kok malah bersujud di hadapanku, sih? Maksudnya apa, nih?
          “Aku benar-benar menghormati kehadiranmu di sini.” jelas perempuan itu dan kembali berdiri.
          Renald langsung nyengir. Ia langsung membisikkan sesuatu pada perempuan itu. Perempuan itu langsung mengangguk. Yang jelas, aku tidak tahu apa yang dibisikkan oleh Renald pada perempuan sok cantik itu. Tak berapa lama, Renald dan perempuan itu kembali menatapku.
          “Namaku Michelle.” kata perempuan itu memperkenalkan dirinya. “Kau bisa memanggilku Mitchie.”
          “Who are you?” tanyaku curiga pada Mitchie. “Renald’s girlfriend?”
          “Tentu saja.” jawab Mitchie dengan cepat.
          Renald membelalakkan matanya. Mitchie langsung merangkul Renald. “Kami memang jodoh dan pantas ditakdirkan untuk bersama.”
          Hmm… Sepertinya ada yang salah di sini. I know it.
          “Dan, aku adalah kapten seni theater.” lanjut Mitchie. “Renald telah bergabung bersamaku.”
          HEI! INI SEPERTI KALIMAT “PENYOMBONGAN DIRI”! Tumben banget apabila Renald mencintai dan memacari seorang perempuan yang terkenal sombong dan egois. Atau... jangan-jangan... Renald dan Mitchie hanya berpura-pura berpacaran?!
          “Aku sudah tahu tentang itu kok.”
          “Ok. Kau tidak bisa mengambil Renald seenaknya dari diriku. Apalagi untuk band tololmu itu.”
          APA?! Jadi, Mitchie mengajakku untuk berkelahi, toh?! DASAR, MITCHIE! “Maksud kamu apa? Renald, what’s going on?”
          Renald hanya diam saja seperti sebuah patung. Sedangkan Mitchie, ia hanya tersenyum. Oh, NOOOOOOOOOO! ITU SENYUM KEMENANGAN!
          “26 Floors akan menjadi band terburuk yang pernah ada di bumi ini.” ejek Mitchie.
          Aku hanya menghela nafas. Kalimat ini benar-benar sudah biasa bagiku. Aku ingat bahwa ada pepatah yang mengatakan bahwa seorang laki-laki harus menghargai seorang perempuan. Dari kalimat tersebut, aku berpikir bahwa ada salahnya dan ada benarnya. Daripada masalah ini semakin panjang dan rumit seperti taman sesat, aku bergegas keluar dari lemari pakaian milik Renald tanpa pamit pada Renald dan Mitchie terlebih dahulu. Di luar, ternyata, hujan pun turun dan sangat deras. Tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari menuju ke rumah Anit yang letaknya agak jauh dari rumah Renald. Aku sengaja meninggalkan mobilku di depan rumah Renald semalaman. Ia pasti tahu itu.

* * *

          Keesokan paginya, di suatu tempat di mana aku mendapatkan ilmu dan masalah terhadap teman, guru, atau penjaga kantin—yakni di SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta.
          Aku berjalan masuk ke kelas dengan tertunduk. Tak disadari, aku menabrak seorang laki-laki.
          “SSSSSAAAAAGAAAAA!” sapa laki-laki itu padaku. Ternyata dia adalah Harry. “What’s going on?”
          Aku hanya mengangkat bahu.
          Harry langsung merebut skateboard yang kubawa. “Kau berangkat ke sekolah dengan naik skateboard?! Tumben banget, Saga. Oh ya, tanggal 25 April band kita, 26 Floors, akan mengikuti lomba band antar SMA se-Jakarta, lho. Kau ingat itu, kan?!”
          “Ya… ya… ya… memang.”
          “Apakah kau yakin kalau kita akan mengikuti lomba tersebut tanpa Renald?”
          “Stop! Jangan sebut nama itu lagi!”
          “Ada apa, sih, Saga?”
          “Aaaaah… Lupakan, deh! Intinya adalah, 26 Floors akan mengikuti lomba tersebut dengan seorang drummer baru atau tidak ikut lomba tersebut!”
          Harry menggarukkan kepalanya. Ia langsung kembali masuk ke kelas dan meninggalkanku sendirian di depan ruang kelas.
          Beberapa jam kemudian, waktu telah menunjukkan pukul 2 siang. Begitu cepat karena sekolah ini sudah terlihat sangat sepi. Aku dan Fauzan memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi kawasan sekolah terlebih dahulu. Tak berapa lama, langkah kami terhenti di depan mading sekolah. Aku melihat Renald sedang membaca suatu pengumuman yang tertempel di mading sekolah.
          “Kau lihat ini?” tanya Fauzan padaku sambil menunjuk ke arah suatu pengumuman yang tertempel di mading sekolah. “Seni theater akan dipentaskan di aula sekolah pada tanggal 25 April! Bukankah itu hari di mana 26 Floors mengikuti lomba ya? Dasar seni theater yang payah!”
          Aku hanya tersenyum kecil. Tiba-tiba, Renald langsung mendorong Fauzan sampai jatuh ke lantai.
          “Kalau kamu mau berkelahi denganku,” ujar Renald. “Silahkan! Aku benar-benar siap!”
          Aku meraih tangan kanan Fauzan dan membantunya untuk berdiri.
          “Chill, Renald! I’m just kidding! Aku minta maaf, deh!”
          “Aku memang tahu bahwa pada tanggal 25 April, seharusnya aku mengikuti lomba band antar SMA se-Jakarta bersama kalian. Namun, penampilanku untuk pentas seni theater jauh lebih penting daripada harus mengikuti lomba band tersebut bersama anak-anak brengsek seperti kalian!”
          RENALD! Setan apakah yang merasukimu sekarang? “Renald, terima kasih atas ejekanmu itu padaku dan Fauzan. Aku benar-benar menghargainya kok. Apa yang selalu kita lewati bersama, aku akan tetap mengenangnya meski kamu telah membenciku selamanya.”
          “Wait!” bentak Fauzan padaku. “Biar aku saja yang memberikan pelajaran untuk si cebol Renald, Saga!”
          Tanpa basa-basi, Fauzan langsung memukul pipi kanan Renald sampai membiru. Renald tak mau menerimanya. Akhirnya, Fauzan dan Renald mulai saling memukul satu sama lain. Aku sudah mencoba untuk menghentikan mereka. Namun, aku malah terkena pukulan salah satu dari mereka. Tak berapa lama, Harry, Reza, dan pak satpam datang menghampiri kami bertiga. Mereka juga membantuku untuk menghentikan Fauzan dan Renald. Tiba-tiba, aku melihat Fauzan membawa sebuah silet! Dengan cepat, aku langsung mengambilnya. Tetapi, aku terlambat untuk…
          “Ugh! Fa… Fauz… Fauzan!”
          GUBRAAAAAK! Laki-laki yang mengenai silet yang dibawa oleh Fauzan itu tergeletak di lantai. Ia tak kuat menahan perihnya silet yang menancap di lengan kanannya itu. Darah mengucur banyak hingga mengenai seragam sekolahnya. Aku hanya terkejut sambil berkata, “Astaga! Mengapa kau tega melakukan ini, Fauzan!”
          “A… a… a… aku tidak bermaksud seperti ini, Saga!” jawab Fauzan dengan tampang terkejut dan bingung. “Tanganku tak sengaja meleset dan mengenai Harry!”
          “Cepat telepon ambulance!” suruh Reza pada semua orang yang berada di lorong kelas.
          Renald hanya terdiam dan menatap Harry yang jatuh pingsan di lantai. Ia tidak berkutik sama sekali. Apakah kau akan berulah lagi, Renald? Kalau iya, kau akan berulah dengan siapa lagi? Aku?
          Reza, Fauzan, dan pak satpam sibuk mencari bantuan untuk menolong Harry, sedangkan aku datang menghampiri Renald dan langsung mendorongnya pelan.
          “Apa lagi sekarang, Saga?” tanya Renald dengan nada sebal sambil mendorongku dengan keras.
          “Dengar ya,” kataku mengingatkan. “Emang kamu mau, kalau tali persahabatan kita terputus hanya karena dirimu? Apakah yang kulakukan semuanya hanya demi menjaga tali persahabatan kita ini ternyata  sia-sia? Sekarang, kamu mau menyakiti siapa lagi? Kamu belum puas untuk menyakiti hatiku dan teman-temanmu? Jadi cowok itu yang bener, dong! Jaga sikap kenapa, sih?!”
          Tanpa berpikir panjang, Renald langsung mendorongku sampai aku jatuh ke lantai. Dengan perasaan kesal, ia menendang perutku hingga kepalaku mengenai kaki mading sekolah. Ia menendang perutku hingga lebih dari 5 kali. Sekarang, aku mulai memuntahkan banyak darah dari mulutku. Bahkan, Renald berhasil membuat kacamataku pecah.
          “I don’t want to know you anymore, jerk!” kesal Renald padaku.
          Mungkin ucapanku tadi memang ampuh untuk membuat seseorang kesal. Namun, ucapanku tadi tidak sesakit “perut yang ditendang Renald”, bukan?! Kepalaku mulai terasa pusing dan aku mulai kesulitan untuk melihat segalanya. Tapi, aku sempat melihat kedua kaki Renald melangkah pergi keluar dari kawasan SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta. But… wait… di mana yang lainnya?

* * *

          Tepat pukul 10 malam, aku duduk terdiam di depan pintu rumah Anita. Aku masih menggunakan seragam sekolah sambil menyandangkan tas ransel di bahuku. Tak berapa lama, Anita datang menghampiri dan duduk disampingku. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku.
          “Aku sudah tahu tentang kejadian yang menimpamu hari ini kok.” ujarnya. “Sabar aja ya.”
          Entah mengapa, aku langsung meneteskan air mata. Bukannya aku cengeng, tetapi tiba-tiba aku teringat ketika aku, Fauzan, dan Renald kali pertamanya bertemu di sebuah kelompok bermain. Bayangkan saja, kami bertiga sudah ±14 tahun bersahabat. Apakah hanya karena suatu masalah kecil, kami bertiga memutuskan untuk saling menyakiti dan membunuh satu sama lain?
          Anita langsung memelukku dan menepuk punggungku. “Sabar ya, Saga. Ini semua pasti ada jalan keluarnya kok. Aku yakin kalau kamu mau bersabar dan tabah untuk melewati ini semua, kamu pasti akan menemukan jalan keluarnya, ok?!”
          “Zzzzz…”
          “Saga, bangun! Saga! Saga! Are you okay?”
          Dengan pelan, aku mencoba untuk membuka kedua mataku. Ternyata, pertemuan antara aku dan Anita hanyalah mimpi. Aku merasakan bantal dan tempat tidur yang kurang empuk sekarang. Dan, orang yang berhadapan denganku bukan Anita, melainkan Reza dan Harry. Reza dan Harry tersenyum melihatku yang akhirnya terbangun juga.
          Aku mulai mengusapkan wajahku dengan tangan kananku. “Di mana aku sekarang? Dan, di mana Renald dan Fauzan? Dan, apakah kau tak apa, Harry?”
          Harry nyengir mendengar pertanyaanku tadi. Emang ada yang lucu ya, Harry? “Satu, kamu ada di rumah sakit sekarang. Dua, Fauzan pulang ke rumahnya, sedangkan Renald... aku tidak tahu. Dan, tiga, I’m fine, Saga. Thanks for asking me.”
          Aku balik nyengir pada Harry. Ia benar-benar terlalu baik dan lugu sehingga banyak orang yang selalu mengusilinya. Namun, percuma saja. Ia adalah seorang laki-laki yang tidak mudah naik darah. Sehingga, ia berhasil membuat orang yang mengusilinya yang malah merasa sebal. LOL.
          “Saga,” panggil Reza. “Apa kau yakin bahwa 26 Floors hanya beranggotakan 3 orang?”
          Aku langsung membelalakkan mataku. 3 orang?! Siapa yang memutuskan untuk keluar dari band 26 Floors selain Renald? Aku? Tentu saja... bukan.
          “I’m sorry, Saga.” sesal Reza sambil menunjukkan selembar kertas padaku.
          Selembar kertas tersebut berisikan tentang surat keluarnya seorang siswa SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta. Bukannya ia yang memutuskan untuk keluar, melainkan sekolah sendiri yang memutuskan. Dan, surat ini melainkan bukan milik Reza! Ternyata, surat ini milik...
          “Saga?” tanya Reza padaku.
          Tidak! Ini benar-benar tidak mungkin! Tiba-tiba, muncul sebuah ide gila dalam pikiranku. Aku langsung melepas infus yang menusuk di tangan kiriku. Tidak peduli sakit atau tidak, aku langsung bangkit dari tempat tidur. Reza dan Harry terkejut melihat apa yang kulakukan sekarang.
          “What are you doing?” tanya Reza padaku.
          “Reza,” panggilku. “Apakah kau membawa baju ganti?”
          “Sure. Ada di tas ranselku!”
          “Harry,” panggilku. “Apakah kau membawa jaket dan topi?”
          “Yup. Juga ada di tas ransel milik Reza!”
          “Ada yang bawa sandal jepit?”
          “Aku!” jawab Harry sambil mengacungkan jari telunjuknya.
          “Aku pinjam semuanya ya, friends!”
          “Kamu mau ke mana, sih, Saga?” tanya Reza penasaran. “Bukankah sekarang sudah larut malam?! Mengapa kau pakai topi?”
          “Penyamaran yang bagus, bukan?!” jawabku. “Oh ya, by the way, kalian berdua ke sini dengan naik apa?”
          “Mobilnya Harry!” jawab Reza sambil menunjuk Harry.
          “Apakah kau tidak keberatan apabila aku meminjam mobilmu, Harry?”
          “Tidak kok. Ini kunci mobilnya. Tunggu, Saga! Kau mau ke mana?”
          “Reza dan Harry, aku mau ke suatu tempat di mana aku harus menyelesaikan masalah pribadiku ini. Kalian berdua tetap di sini ya. Jangan sampai suster atau dokter mengetahui bahwa ada satu orang pasien yang berhasil kabur, ok?!”
          “Siap, bos!” kata Reza dan Harry bersamaan. “Good luck, Saga!”
          Aku langsung keluar dari kamar rumah sakit yang aku tempati sekarang. Meski aku sempat bertemu dengan seorang suster, namun suster itu tidak mengetahui bahwa aku sebenarnya seorang pasien di rumah sakit ini! Saga, kau pintar! Penyamaranmu benar-benar berhasil!

* * *

          Sesampainya di tempat tujuan, aku segera keluar dari mobil dan menekan tombol bel rumah tersebut. Tak berapa lama, orang yang memiliki rumah tersebut akhirnya keluar juga. Ia benar-benar terkejut ketika melihatku.
          “Hai, Fauzan!” sapaku padanya.
          “Saga?!” kaget Fauzan. “Bukankah kamu masuk rumah sakit ya? Bagaimana bisa kau keluar dari rumah sakit? Dan, apakah kamu benar-benar sudah sembuh?”
          “Hmm... Belum terlalu sembuh!” jawabku sambil menunjukkan balutan perban yang terdapat di perutku. “Aku ingin menanyakan beberapa hal padamu, Fauzan.”
          Fauzan hanya menghela nafas. Satu hal yang tidak kusukai darinya, ia benar-benar sulit untuk diajak bicara “serius”.
          Aku langsung menunjukkan selembar kertas tentang keluarnya Fauzan dari SMA Wahidin Chandrawira 26 Jakarta. “Maksud dari selembaran kertas ini apa?”
          Fauzan langsung merebut selembaran kertas itu dari tanganku. “Mereka tidak mau menampung masalah yang panjang antara aku, kamu, Harry, Renald, dan Reza. You must to know that!”
          “Mengapa bukan Renald saja yang dikeluarkan dari sekolah? Lagian, bukankah Renald yang membuat masalah itu muncul ya?”
          “Sebenarnya, sih. Tapi, yah... mau bagaimana lagi?! Keputusan tetaplah keputusan.”
          “Dasar plin-plan.”
          “But... hey! 26 Floors masih bisa tenar tanpa diriku, bukan?! Aku tidak peduli apakah 26 Floors akan menang atau kalah dalam lomba band antar SMA se-Jakarta itu. Yang penting, aku pernah menjadi sebagian dari 26 Floors dan tetap mendukungnya.”
          “Thanks, bro!” aku langsung memeluk Fauzan erat-erat.
          “Jaga dirimu ya, Saga!”
          “You, too!”
          Fauzan langsung melepas pelukan kami. Ia langsung memasang tulisan “DIJUAL” di jendela rumahnya. Setelah itu, ia langsung menatapku. “Sampai jumpa, Saga! Aku akan merindukanmu! Dan, terimakasih sebesar-besarnya karena kamu mau menjadi sahabatku hingga detik ini. Kau adalah sahabatku yang paling baik dan terlama yang pernah kumiliki. Kurasa kita harus mengakhiri ini semua dengan cara berhenti sampai di sini saja.”
          “Maksudmu?”
          Fauzan langsung menutup pintu rumahnya dengan cepat. Aku panik dengan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Fauzan tadi. Aku langsung menekan tombol bel rumah Fauzan lagi. Namun, tidak ada yang membukakakan satu orang pun. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke rumah sakit. Well, hari ini benar-benar hari sialku dengan anggota band 26 Floors lainnya. Aku dan anggota band 26 Floors lainnya benar-benar diuji akan kesabaran kami oleh Tuhan. Tapi, ternyata, separuh dari kami lebih memilih untuk mundur karena putus asa. Satu hal yang perlu kuketahui bahwa setiap manusia juga pernah diuji oleh Tuhan. Apabila kau lebih memilih untuk mundur dari tes yang diberikan oleh Tuhan ini, maka kau akan kehilangan segalanya yang menurutmu itu “harta yang istimewa”.
          Hari demi hari telah kujalani dan kulewati. Tak terasa bila bulan ini adalah bulan Mei. 26 Floors akhirnya memenangkan lomba band antar SMA se-Jakarta. Band yang hanya beranggotakan 3 orang tersebut, yaitu aku, Reza, dan Harry—berhasil meraih juara II dengan hadiah trophy+beasiswa 6 bulan+uang tunai sebesar Rp 8 juta tanpa dipotong pajak. Band yang terdiri dari guitarist dan vokalist, synthesizer, dan bassist ini juga berhasil meraih juara band favorit. Aku tidak peduli apakah aku sekarang tenar atau tidak, yang kupikirkan sekarang adalah mau kuapakan uang sebesar Rp 8 juta tersebut. Akhirnya, kami bertiga memutuskan untuk dibagi rata antara satu dengan yang lain. Masing-masing anggota membawa uang tunai sebesar Rp 2 juta. Sedangkan sisanya, kami bertiga sepakat untuk memberikannya kepada panti asuhan.
          Well, untuk masalah yang lain, masalah yang berkaitan dengan aku, Renald, Fauzan, Reza, dan Harry—sepertinya sampai sekarang pun belum juga kelar. Semenjak kejadian tersebut, aku dan Fauzan sudah tidak lagi berkomunikasi, atau lebih mudah disebut missed communication. Renald pun juga begitu. Sekarang, ia menjadi seorang aktor papan atas untuk  seni theater. Dan, ia terkenal sebagai seorang aktor yang sombong di SMA-ku. Dari kejadian yang kualami ini, ada sesuatu yang harus aku mengerti bahwa ternyata sahabat yang paling baik itu juga bisa pergi meninggalkanku dengan cepat dan belum tentu selamanya dia baik padaku. Dan, orang yang tidak terlalu dekat denganku, seperti Reza dan Harry, belum tentu mereka mau meninggalkanku dengan cepat dan memiliki sifat yang jahat.